Langsung ke konten utama

Sentilan Sentilun tentang Pasal Penghinaan Presiden

Pasal penghinaan Presiden yang dimasukkan ke dalam rancangan KUHP yang akan digodog DPR nampaknya akan terus menuai kecaman. Di awal wacana ini berhembus, banyak orang yang mempermasalahkan pasal tersebut. Menurut mereka pemasukan pasal ini akan membuat demokrasi menjadi terancam. Terutama pada kebebasan berpendapat, dalam hal ini mengungkapkan kritik kepada Presiden sebagai pemangku tertinggi pemerintahan.

Adanya pasal ini yang tentu akan memunculkan hukuman, dikhawatirkan akan menjadi faktor ketakutan bagi seluruh warga negara. Yang ingin mengkritik kebijakan pemerintah akan berpikir beberapa kali. Sekalipun ia sebenarnya punya banyak data sebagai argumentasi kritiknya. Siapapun yang akan mengkritik Presiden akan sangat diliputi kegamangan. Karena ada hukuman yang menunggu jika benar-benar terbukti bersalah.

Selanjutnya, wacana ini terus bergulir hingga pada akhirnya mengerucut dengan banyaknya saran yang lebih fleksibel agar jika pasal ini jadi digodog, maka tidak usahlah dimasukkan sebagai delik umum, melainkan delik aduan. Artinya siapapun yang menghina Presiden akan terbebas dari hukum, selama tidak ada pengaduan dari Presiden. Para pengkritisi dan pemberi saran tentang delik aduan ini bahkan memberikan standar limitatif. Konkretnya yang dinamakan menghina itu seperti apa, harus dicantumkan dengan jelas dan gamblang dalam pasal tersebut.

Namun kabar terakhir, nampaknya saran dan kritik agar delik aduanlah yang dijadikan prinsip akan menemui perubahan yang sangat drastis. Pasal tersebut naga-naganya akan digodog menjadi delik umum dengan berbagai pertimbangan. Artinya aparat kepolisian akan diberikan wewenang untuk menangkap siapa saja yang dianggap melanggar pasal tersebut. Tidak perlu menunggu ada tidaknya pelaporan dari Presiden.

Saya sendiri, merasa serba salah dalam mencermati wacana yang tidak murni persoalan hukum tersebut. Serba salah terjadi karena saya menganggap antara pemerintah sebagai pengusul pasal dan DPR sebagai penggodognya, serta para kritikus yang terdiri para ahli, sama-sama benar di beberapa bagian. Lalu bagaimana dengan nasib warga negara yang menjadi obyek hukum dari pasal tersebut? Apakah merekalah yang boleh dibilang pantas dicurigai salah? Nanti akan saya bahas paling akhir. Wes pokoknya baca sajalah.

Pertama, dari sisi pemerintah dan DPR. Saya kira kita harus fair bahwa wacana yang dihembuskan ini bukanlah tanpa alasan . Wacana yang dimunculkan pemerintah ini sebagai hal yang sangat logis. Bagaimanapun Presiden adalah lambang negara. Ia seyogyanya punya hak yang berbeda dengan rakyat biasa. Salah satunya perlakuan kita kepadanya.

Sebagai lambang negara, Presiden patutlah kita hormati dengan kebanggaan sebagai warga negara. Sekalipun kebanggaan tersebut ukuran dan skalanya berbeda. Kita tidak boleh menafikan adanya perbedaan politik yang meruncing akhir-akhir ini. Yang mengakibatkan sikap kepada Presiden yang memimpin sekarang menjadi berbeda-beda. Namun, kalau ini boleh dikatakan sebagai saran, seberbeda-bedanya pandangan politik kita, tetap dong harus muncul kebanggaan pada presiden terpilih kita itu. Sekalipun kebanggaan sebesar biji dzarrah.

Artinya, hembusan wacana ini adalah wujud konkret kebanggaan kita itu. Kepada Presiden terpilih, sebagai lembaga negara dan sebagai pengayom kita, saya kira pemberian hak yang berbeda itu anggap saja lumrah. Apapun, jelas harus ada yang berbeda antara kita sebagai warga negara biasa dengan Presiden yang tiap hari memikirkan kepentingan dan kebutuhan kita. Kan hak yang berbeda ini menjadi kelezatan yang menggiurkan yang diuber para pemimpi menjadi capres. Iya, kan? Sampai di sini kalau ada yang tidak setuju silakan ngedumel sendiri yak.

Dan kedua, dari sisi kritikus, yang terdiri para pakar ilmu. Apa yang mereka kritik sebetulnya ada benarnya juga. Bahkan kritik itu sebenarnya mewakili gaung suara masyarakat yang bermunculan di linimasa medsos dan obrolan-obrolan ringan di warung-warung kopi. Juga tentu saja muncul pula dalam obrolan ringan di kolam pancing.

Adanya wacana pasti muncul respon. Ada aksi dan reaksi. Ini hal lumrah sebagai warna warni kehidupan berbangsa. Respon atau reaksi berupa kritik ini tentu saja tidak berpijak di ruang hampa. Ada argumentasi yang logis menjadi dasar para kritikus mempersoalkan hembusan pasal penghinaan Presiden ini. Salah satunya dugaan akan munculnya penggembosan hak asasi manusia sebagai warga negara. Paling utama ketakutan akan dibatasinya freedom of speech.

Hal itulah yang pasti menjadi argumentasi mengapa muncul kritik yang tajam itu. Sebab bagaimanapun, freedom of speech tidak bisa dihindari dan merupakan soko guru utama demokrasi yang kita bangga-banggakan ini. Kalau versi saya, jika pemerintah ternyata ingin membatasi kebebasan berbicara dan berpendapat warga negara yang semuanya mempunyai mulut, ya harusnya malu pada mulut tersebut. Sebab antara mulut dan negara, pasti mulutlah yang lebih dulu muncul di dunia ini. Orang waras pasti akan paham bahwa Nabi Adam diciptakan Tuhan dengan kesempurnaan anatomi tubuh, salah satunya mulut. Dan semua orang juga tahu bahwa saat itu belum dikenal istilah negara.

Lalu apakah pasal yang nampaknya segera dibahas ini akan terus menerus menuai kecaman? Kalau pertanyaan ini diajukan, saya sendiri tidak bisa menjamin terus dan berhentinya. Sebab apa sih yang tidak ramai di negeri ini. Apalagi sebentar lagi kita akan memasuki gerbang medan perang politik yang belum bisa terprediksi akan seperti apa. Adem ayem ataukah penuh intrik dan fitnah.

Yang jelas, kalaulah nanti DPR sudah mengesahkan, kemudian masih ada yang mempersoalkannya, maka seyogyanya pakailah jalur yang tepat. Iya betul, harus pakai jalur hukum pula. Datangi MK (Mahkamah Konstitusi), ajukan permohonan uji materiil. Terserah perubahan apa yang ingin diajukan.

Tidak usahlah melakukan parlemen jalanan, sebab yang terjadi nanti akan runyam. Sudah kita memasuki medan perang politik yang belum tentu adem ayem, ditambahi pula demonstrasi yang sebenarnya kurang bermaanfat untuk merespon wacana tersebut. Sekali lagi kalau tidak sepakat, pakai saja MK untuk menyelesaikannya. Gitu.

***

Bagi kita rakyat kecil, wacana ini sebenarnya perlu menjadi renungan. Sebab kalau kita mau fair, pemerintah mengajukan rancangan pasal penghinaan Presiden, pasti ada latarbelakangnya. Tidak mungkin kemunculannya karena pemerintah iseng belaka. Atau minimal, ada rencana politik besar di balik wacana ini, kalau benar dugaan itu dan sepertinya tidak.

Tetapi saya perlu menggugah hati nurani kita semua, bahwa sebenarnya ia itu sebagai respon atau reaksi dari apa yang ditampakkan rakyat sendiri. Lho kok menyalahkan rakyat? Tidak, sama sekali saya tidak menyalahkan rakyat, lha wong saya sendiri juga rakyat kok. Yang ingin saya catatkan sekedar kesadaran dan pengakuan, yang benar-benar kita lakukan.

Apa sih itu? Masak masih gak sadar juga. Tengoklah medsos dengan segala komentar pro-kontranya. Di situ kan akan kita temukan banyak sekali postingan dan ujaran yang menyerang pribadi Presiden. Kalau kita mau mendaftar maka akan kita temui kalimat: Jokowi anak PKI, Jokowi non Islam, Jokowi anak hasil zina, Jokowi plonga plongo, Jokodok dan lain sebagainya. Bahkan teman saya sendiri juga bencinya minta ampun sama Jokowi, sampai bilang ke-Islamannya diragukan.

Nah, pastilah Presiden Jokowi membaca kalimat-kalimat itu dong. Dia tahu dong dengan “hinaan-hinaan” tersebut. Dia manusia biasa, punya perasaan, punya istri dan anak, juga orang tua dan anggota keluarga lainnya. Tentu saja dong akan juga muncul kegusaran, sakit hati dan sedih melihat dirinya atau Jokowi sebagai anggota keluarganya digituin. Kalau ini melanda kita, ya pasti sama juga dong apa yang akan terjadi. Lha wong untuk urusan anak kita dibilangin temannya sebagai anak bodoh saja, kita sudah mencak-mencak mau menggasaknya.

Di situlah sebenarnya esensi demokrasi tentang freedom of speech tidak serta merta meniadakan etika. Kebebasan memanglah kebebasan, tetapi ia harus manut pada etika, baik etika sosial, apalagi etika agama. Mulut boleh berbicara tapi harus dinilaikan dulu di hati nurani masing-masing. Tiada ajaran etika yang melegalkan umat manusia berbicara seenaknya, yang berisi hinaan, fitnahan dan umpatan seperti yang dialami Presiden Jokowi. Maukah kita dikatakan sebagai manusia etis? Itu terserah anda menjawabnya. Wallahu a’lam

Mojokerto, 07-02-2018
  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...