Diceritakan dalam Matsnawi, karya monumental Jalaluddin Rumi, terdapatlah sepasang suami istri bersuku Badui sedang berdialog di gubuknya. Mereka, tergolong keluarga yang tidak punya kekayaan seperti orang lain. Hidup mereka terlampau miskin. Sampai urusan makan sehari-hari, mereka kesulitan memenuhinya. Dalam kondisi kemiskinan dan kesusahan itulah, di malam itu, istri Badui menyampaikan keluh kesahnya kepada suami. Ia tak kuat menanggung itu semua.
“Kita menanggung derita kemiskinan dan kesusahan yang berkepanjangan. Sedangkan di luar sana seluruh dunia hidup penuh kebahagiaan. Hanya kita yang tidak bahagian. Kita tidak punya roti. Bumbu masak kita hanyalah penderitaan dan kecemburuan. Kita tidak punya sepoci air sekalipun, dan air yang kita miliki hanyalah tetesan air mata..... Ketika hari berganti malam, kita resah akibat kekurangan makan sehari-hari. Keluarga maupun orang asing lari meninggalkan kita bagai rusa lari menjauhi manusia.”
Untuk merespon keluh kesah istrinya, suami Badui itu memintanya untuk selalu bersabar. Bersabar dalam menghadapi situasi yang menghimpit.
“Berapa lama kamu akan mencari perolehan dan harta benda duniawi? Berapa lama lagi masa hidup kita yang tersisa? Sebagian besar jatah hidup sudah terlewatkan. Orang berakal tidak melihat kelebihan dan kekurangan material, karena semuanya akan berlalu bagai arus deras.... Di dunia ini beribu binatang hidup bahagia tanpa merasa resah akan perolehan atau kehilangan. Penyingkiran keluh kesah ini bagai pisau pembersih bagi kita; menilai seperti ini atau itu adalah godaan setan. Ketahuilah bahwa setiap penderitaan dilahirkan oleh hasrat: tepiskan hasrat dari dirimu jika ada peluang melakukannya. Kau pernah mudah, dan saat itu kau cukup merasa puas....”
Mendengar nasihat suaminya, si istri berteriak tidak terima dengan penjelasan itu semua.
“Oh, kau yang sok moralis. Aku tak akan pernah lagi termakan mantra dan kata-katamu yang menyesatkan. Jangan bicara omong kosong dengan prasangka dan kepura-puraan. Pergilah, jangan bicara sombong dan angkuh..... Jangan sebut aku pasanganmu; tak usah banyak cakap. Aku berteman dengan keadilan, bukan kebohongan.”
Keduanya saling berbalas diskusi yang tajam. Sampai kemudian, sang suami itupun marah. Ia menganggap si istri sangat keterlaluan. Jalan kemiskinan yang ia jalani ternyata tidak disukai istrinya. Iapun murka, dan meminta istrinya jika terus berkeluhkesah, lebih baik berpisah saja.
Sang istri terkaget dengan penawaran bercerai dari suaminya. Ia langsung ketakutan. Sebab ia masih sangat cinta dengan suaminya. Iapun merespon dengan menangis penuh nestapa. Muncul rasa penyesalan yang dalam. Di depan suaminya, tangisnya seperti orang yang sedang melakukan pertobatan. Padahal sebenarnya, tangis istri Badui tersebut hanyalah cara demi meluluhkan keras hati suaminya yang tak mau menuruti keinginannya.
Cara itupun berhasil. Si suami akhirnya tunduk kepada istrinya. Kekuatan akalnya terkalahkan dengan nafsu istrinya. Sehingga iapun menuruti keinginan istrinya. Salah satunya ingin cepat kaya, ingin cepat mempunyai perhiasan mewah, ingin membangun rumah megah, dan keinginan-keinginan lainnya. Agar kehidupannya tidak lagi sengsara, miskin dan terhina seperti sebelumnya.
Untuk itulah si istri sudah membuat rencana besar yang terselubung. Di depan suaminya, ia menyampaikan rencana tersebut. Sebuah rencana yang berisi ambisi mendapatkan hadiah dari Khalifah yang berkuasa. Kepada suamianya ia menyampaikan strategi itu.
“Kita punya air hujan di dalam kendi. Itulah harta, modal dan peralatanmu. Bawalah sekendi air ini dan pergilah menghadap Khalifah. Jadikan kendi berisi air ini sebagai hadiah istimewa bagi Khalifah. Sebab di gurun yang gersang dan panas ini, sekendi air adalah karunia terbesar. Di gurun pasir gersang, sekendi air adalah barang yang mahal dan langka.”
Sang suamipun menuruti rencana istrinya. Sebelum berangkat ke istana, kendi tersebut diperindah dengan kain-kain cantik. Agar supaya Khalifah merasa senang, mendapat kejutan yang memang sangat ia perlukan. Meneguk air segar, dari hujan yang turun dari langit, merupakan dambaan orang-orang yang hidup di tengah gurun.
Tiba di gerbang istana, suami Badui itupun berteriak-teriak memanggil-manggil tentara penjaga gerbang. Teriakannya berisi kisah hidupnya yang selama ini diliputi kemiskinan. Cerita tentang betapa susah hidup di dunia ini. Tetapi walau susah ia masih punya satu harta yang mahal, ialah sebuah kendi berisi air segar. Dan harta satu-satunya yang mahal itu akan ia hadiahkan kepada khalifah.
Iapun kemudian ditemui dua orang pengawal. Mereka mendengar seluruh teriakan pria miskin tersebut. Merekapun membawa kendi air, yang sebetulnya tidak diperlukan di istana itu. Ketika bertemu dengan khalifah, dua orang pengawal itupun menyerahkan kendi itu dan memberitahukan bahwa yang memberikan hadiah kendi air adalah seorang Badui miskin yang hidupnya susah.
Sang khalifah tersenyum dan memahami maksud si badui miskin. Baliaupun kemudian menerima kendi tersebut dan memerintahkan dua hal kepada pengawal gerbang. Pertama, berikanlah sekantung emas kepada tamu tersebut sebagai pengganti hadiah yang sebenarnya tidak berfaedah itu. Dan kedua, mendampingi kepulangan tamu tersebut dengan menyusuri jalan di tepi Sungai Tigris, jalur yang tidak dilewati si Badui.
Pengawal itupun menuruti titah khalifah. Merekapun mengambilkan sekantung emas dari gudang dan diberikan kepada Badui. Merekapun mendampingi kepulangan Badui hingga ke rumahnya. Tentu saja melewati tepian Sungai Tigris yang airnya melimpah, bening dan menyegarkan. Sungai besar yang memang menjadi kekayaan alam negeri itu, tapi tidak diketahui keluarga Badui miskin.
Saat menerima sekantung emas, si Badui itu sangat kegirangan. Apalagi hadiah istimewa itu benar-benar diterima khalifah tanpa penolakan. Tetapi situasi mendadak berubah drastis. Terjadi ketika rombongan itu melewati tepian Sungai Tigris yang indah dan melimpah. Sebab saat melihat jika di istana khalifah tersebut terdapat sungai besar, yang melimpah airnya, yang bening dan segar ketika diminum, maka malulah si Badui. Ia tertunduk, berat untuk mendongakkannya. Sungguh, hadiah sekendi air yang disangka oleh dia dan istri adalah hadiah paling istimewa, ternyata tidak bernilai apapun. Dibanding kekayaan istana berupa Sungai Tigris yang besar itu.
***
Bagi kita, banyak pelajaran didapat dari hikayat yang diceritakan Maulana Rumi. Sebagai orang yang beriman, seharusnya tidak terlalu mengandalkan atau mengagumi kekayaan, amalan atau ilmu yang kita punyai. Seberapa besar itu semua, harus kita sadari sebagai pemberian dari Sang Maha Menguasai dan Mencipta alam raya ini. Tanpa Allah swt, kita pasti tak akan mampu kaya, beramal dan berilmu.
Air dalam kendi Badui, ibarat setetes air yang tidak sepadan dengan besarnya Sungai Tigris yang airnya melimpah. Kalau air kendi itu dituangkan ke dalam Tigris, maka ia akan hilang. Air itu tidak bisa lagi dipandang, sebab air itu larut oleh arus besar Sungai Tigris. Sekendi air itu ibarat pengetahuan manusia, dan Sungai Tigris adalah perumpamaan kekuasaan dan pengetahuang Allah swt yang banyak tidak diketahui manusia.
Ketika kisah ini kita sinkronkan dengan kemampuan ilmu yang dipunyai manusia, tentulah kita dapat memastikan bahwa cuma setetas yang dipunyai manusia. Setetes pengetahuan yang berasal dari limpahan pengetahuan Tuhan yang luasnya berjuta-juta samudra. Sehingga menunjukkan kesejatian bahwa masih banyak yang belum diketahui manusia dari pada yang sudah diketahuinya. Maka tak usah sombong dengan secuil, setitik dan setetas ilmu yang kita pahami, dihadapan orang lain yang boleh jadi lebih berilmu dari kita. Apalagi dihadapan Tuhan.
Syeikh Abu Yusuf pernah dimintai pertimbangan oleh Khalifah Harun al-Rasyid mengenai sebuah persoalan. Tetapi Syeikh Abu Yusuf tidak bisa memberikan solusi atau jawaban dari persoalan itu, sebab ia memang tidak tahu. Mendengar ketidaktahuan Syeikh Yusuf, perdana menteri memarahinya. Menurutnya, sang Syeikh dihadirkan dan digaji berasal dari ketahuannya. Mendengar protes perdana menteri, Syeikh Yusufpun menjawab:
“Gajiku adalah sesuai dengan pengetahuanku. Jika gajiku disesuaikan dengan ketidaktahuanku, maka perbendaharaan negeri ini tidak akan cukup untuk membayarnya.” Wallahu a’lam
(Tulisan ini diramu dari buku “Ratapan Kerinduan Rumi” yang dianggit Osman Nuri Topbas)
25-02-2018
“Kita menanggung derita kemiskinan dan kesusahan yang berkepanjangan. Sedangkan di luar sana seluruh dunia hidup penuh kebahagiaan. Hanya kita yang tidak bahagian. Kita tidak punya roti. Bumbu masak kita hanyalah penderitaan dan kecemburuan. Kita tidak punya sepoci air sekalipun, dan air yang kita miliki hanyalah tetesan air mata..... Ketika hari berganti malam, kita resah akibat kekurangan makan sehari-hari. Keluarga maupun orang asing lari meninggalkan kita bagai rusa lari menjauhi manusia.”
Untuk merespon keluh kesah istrinya, suami Badui itu memintanya untuk selalu bersabar. Bersabar dalam menghadapi situasi yang menghimpit.
“Berapa lama kamu akan mencari perolehan dan harta benda duniawi? Berapa lama lagi masa hidup kita yang tersisa? Sebagian besar jatah hidup sudah terlewatkan. Orang berakal tidak melihat kelebihan dan kekurangan material, karena semuanya akan berlalu bagai arus deras.... Di dunia ini beribu binatang hidup bahagia tanpa merasa resah akan perolehan atau kehilangan. Penyingkiran keluh kesah ini bagai pisau pembersih bagi kita; menilai seperti ini atau itu adalah godaan setan. Ketahuilah bahwa setiap penderitaan dilahirkan oleh hasrat: tepiskan hasrat dari dirimu jika ada peluang melakukannya. Kau pernah mudah, dan saat itu kau cukup merasa puas....”
Mendengar nasihat suaminya, si istri berteriak tidak terima dengan penjelasan itu semua.
“Oh, kau yang sok moralis. Aku tak akan pernah lagi termakan mantra dan kata-katamu yang menyesatkan. Jangan bicara omong kosong dengan prasangka dan kepura-puraan. Pergilah, jangan bicara sombong dan angkuh..... Jangan sebut aku pasanganmu; tak usah banyak cakap. Aku berteman dengan keadilan, bukan kebohongan.”
Keduanya saling berbalas diskusi yang tajam. Sampai kemudian, sang suami itupun marah. Ia menganggap si istri sangat keterlaluan. Jalan kemiskinan yang ia jalani ternyata tidak disukai istrinya. Iapun murka, dan meminta istrinya jika terus berkeluhkesah, lebih baik berpisah saja.
Sang istri terkaget dengan penawaran bercerai dari suaminya. Ia langsung ketakutan. Sebab ia masih sangat cinta dengan suaminya. Iapun merespon dengan menangis penuh nestapa. Muncul rasa penyesalan yang dalam. Di depan suaminya, tangisnya seperti orang yang sedang melakukan pertobatan. Padahal sebenarnya, tangis istri Badui tersebut hanyalah cara demi meluluhkan keras hati suaminya yang tak mau menuruti keinginannya.
Cara itupun berhasil. Si suami akhirnya tunduk kepada istrinya. Kekuatan akalnya terkalahkan dengan nafsu istrinya. Sehingga iapun menuruti keinginan istrinya. Salah satunya ingin cepat kaya, ingin cepat mempunyai perhiasan mewah, ingin membangun rumah megah, dan keinginan-keinginan lainnya. Agar kehidupannya tidak lagi sengsara, miskin dan terhina seperti sebelumnya.
Untuk itulah si istri sudah membuat rencana besar yang terselubung. Di depan suaminya, ia menyampaikan rencana tersebut. Sebuah rencana yang berisi ambisi mendapatkan hadiah dari Khalifah yang berkuasa. Kepada suamianya ia menyampaikan strategi itu.
“Kita punya air hujan di dalam kendi. Itulah harta, modal dan peralatanmu. Bawalah sekendi air ini dan pergilah menghadap Khalifah. Jadikan kendi berisi air ini sebagai hadiah istimewa bagi Khalifah. Sebab di gurun yang gersang dan panas ini, sekendi air adalah karunia terbesar. Di gurun pasir gersang, sekendi air adalah barang yang mahal dan langka.”
Sang suamipun menuruti rencana istrinya. Sebelum berangkat ke istana, kendi tersebut diperindah dengan kain-kain cantik. Agar supaya Khalifah merasa senang, mendapat kejutan yang memang sangat ia perlukan. Meneguk air segar, dari hujan yang turun dari langit, merupakan dambaan orang-orang yang hidup di tengah gurun.
Tiba di gerbang istana, suami Badui itupun berteriak-teriak memanggil-manggil tentara penjaga gerbang. Teriakannya berisi kisah hidupnya yang selama ini diliputi kemiskinan. Cerita tentang betapa susah hidup di dunia ini. Tetapi walau susah ia masih punya satu harta yang mahal, ialah sebuah kendi berisi air segar. Dan harta satu-satunya yang mahal itu akan ia hadiahkan kepada khalifah.
Iapun kemudian ditemui dua orang pengawal. Mereka mendengar seluruh teriakan pria miskin tersebut. Merekapun membawa kendi air, yang sebetulnya tidak diperlukan di istana itu. Ketika bertemu dengan khalifah, dua orang pengawal itupun menyerahkan kendi itu dan memberitahukan bahwa yang memberikan hadiah kendi air adalah seorang Badui miskin yang hidupnya susah.
Sang khalifah tersenyum dan memahami maksud si badui miskin. Baliaupun kemudian menerima kendi tersebut dan memerintahkan dua hal kepada pengawal gerbang. Pertama, berikanlah sekantung emas kepada tamu tersebut sebagai pengganti hadiah yang sebenarnya tidak berfaedah itu. Dan kedua, mendampingi kepulangan tamu tersebut dengan menyusuri jalan di tepi Sungai Tigris, jalur yang tidak dilewati si Badui.
Pengawal itupun menuruti titah khalifah. Merekapun mengambilkan sekantung emas dari gudang dan diberikan kepada Badui. Merekapun mendampingi kepulangan Badui hingga ke rumahnya. Tentu saja melewati tepian Sungai Tigris yang airnya melimpah, bening dan menyegarkan. Sungai besar yang memang menjadi kekayaan alam negeri itu, tapi tidak diketahui keluarga Badui miskin.
Saat menerima sekantung emas, si Badui itu sangat kegirangan. Apalagi hadiah istimewa itu benar-benar diterima khalifah tanpa penolakan. Tetapi situasi mendadak berubah drastis. Terjadi ketika rombongan itu melewati tepian Sungai Tigris yang indah dan melimpah. Sebab saat melihat jika di istana khalifah tersebut terdapat sungai besar, yang melimpah airnya, yang bening dan segar ketika diminum, maka malulah si Badui. Ia tertunduk, berat untuk mendongakkannya. Sungguh, hadiah sekendi air yang disangka oleh dia dan istri adalah hadiah paling istimewa, ternyata tidak bernilai apapun. Dibanding kekayaan istana berupa Sungai Tigris yang besar itu.
***
Bagi kita, banyak pelajaran didapat dari hikayat yang diceritakan Maulana Rumi. Sebagai orang yang beriman, seharusnya tidak terlalu mengandalkan atau mengagumi kekayaan, amalan atau ilmu yang kita punyai. Seberapa besar itu semua, harus kita sadari sebagai pemberian dari Sang Maha Menguasai dan Mencipta alam raya ini. Tanpa Allah swt, kita pasti tak akan mampu kaya, beramal dan berilmu.
Air dalam kendi Badui, ibarat setetes air yang tidak sepadan dengan besarnya Sungai Tigris yang airnya melimpah. Kalau air kendi itu dituangkan ke dalam Tigris, maka ia akan hilang. Air itu tidak bisa lagi dipandang, sebab air itu larut oleh arus besar Sungai Tigris. Sekendi air itu ibarat pengetahuan manusia, dan Sungai Tigris adalah perumpamaan kekuasaan dan pengetahuang Allah swt yang banyak tidak diketahui manusia.
Ketika kisah ini kita sinkronkan dengan kemampuan ilmu yang dipunyai manusia, tentulah kita dapat memastikan bahwa cuma setetas yang dipunyai manusia. Setetes pengetahuan yang berasal dari limpahan pengetahuan Tuhan yang luasnya berjuta-juta samudra. Sehingga menunjukkan kesejatian bahwa masih banyak yang belum diketahui manusia dari pada yang sudah diketahuinya. Maka tak usah sombong dengan secuil, setitik dan setetas ilmu yang kita pahami, dihadapan orang lain yang boleh jadi lebih berilmu dari kita. Apalagi dihadapan Tuhan.
Syeikh Abu Yusuf pernah dimintai pertimbangan oleh Khalifah Harun al-Rasyid mengenai sebuah persoalan. Tetapi Syeikh Abu Yusuf tidak bisa memberikan solusi atau jawaban dari persoalan itu, sebab ia memang tidak tahu. Mendengar ketidaktahuan Syeikh Yusuf, perdana menteri memarahinya. Menurutnya, sang Syeikh dihadirkan dan digaji berasal dari ketahuannya. Mendengar protes perdana menteri, Syeikh Yusufpun menjawab:
“Gajiku adalah sesuai dengan pengetahuanku. Jika gajiku disesuaikan dengan ketidaktahuanku, maka perbendaharaan negeri ini tidak akan cukup untuk membayarnya.” Wallahu a’lam
(Tulisan ini diramu dari buku “Ratapan Kerinduan Rumi” yang dianggit Osman Nuri Topbas)
25-02-2018

Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda