Akhir-akhir ini banyak kasus kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan kita. Mulai dari tingkat terendah, Sekolah Dasar, sampai perguruan tinggi. Sebagian besar kita, pasti ikut pula menyelami kasus-kasus tersebut. Terutama yang viral di media masa.
Di jenjang Sekolah Dasar (SD), kasus-kasus kekerasan terjadi baik dilakukan oleh guru kepada murid, maupun wali murid kepada guru. Kita bisa mencermati kasus-kasus tersebut di banyak media massa. Terjadi di rentang waktu sekira sepuluh tahunan ini. Hingga kini, nampaknya kasus-kasus tersebut tidak mengalami penyusutan. Kecenderungannya terus bertambah dan bertambah. Menurut catatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di tahun 2017 saja, sebaran kasus ini terjadi di banyak daerah antara lain Jakarta, Sukabumi, Indramayu, Bekasi, Bangka Belitung, Medan, Aceh, Lombok Barat dan lain-lainnya, seperti diberitakan tirto.id (6/11/2017).
Di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga sering terjadi kasus-kasus kekerasan. Baru-baru ini dan masih sangat hangat, kita semua tersentak dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru SMP di Jombang, Jawa Timur. Kasus ini meledak dengan dahsyat, mencoreng nama kabupaten yang populer dengan julukan “Jombang Beriman” itu. Kasus ini mencengangkan oleh karena dua sebab: jumlah korban yang banyak (27 siswi) dan profil guru tersangka pelaku pelecehan yang selama ini dikenal religius. Kasus ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut oleh kepolisian.
Di Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara, baru-baru ini juga terjadi kasus kekerasan. Kali ini kekerasan itu melanda seorang guru SMP bernama Astri Tampi. Seperti diberitakan linimasa Facebook yang sempat viral, bu Astri dianiaya oleh seorang wali murid dengan cara yang sangat sadis. Tangannya mengalami luka sobek akibat dipukul pelaku dengan memakai kaki meja. Kepalanya bahkan sempat akan dipukul menggunakan meja tersebut yang kacanya lebih dulu dipecahkan oleh pelaku karena murka.
Kasus ini berawal dari niat baik bu Astri yang memanggil pelaku ke sekolah karena ingin memberikan informasi jika anaknya kerap berperilaku nakal. Tetapi respon orang tua dari murid yang nakal tersebut justru berupa penganiayaan sadis yang berujung kriminalitas. Kasus ini juga masih dalam penanganan pihak berwenang.
Di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), kekerasan juga kerap terjadi. Paling gres adalah kasus kematian Pak Budi, seorang guru honorer di sebuah SMA di Sampang yang tewas setelah dianiaya muridnya. Kasus tersebut merupakan salah satu yang terbesar dan menyerap banyak perhatian kita. Beritanya viral, terblow-up dengan massif dan mendapatkan respon yang bermacam-macam dari warganet. Paling banyak tentulah mengecam dan kecewa dengan ulah murid bengal, pelaku penganiayaan tersebut.
Di jenjang perguruan tinggi, kita semua juga dihentakkan dengan ulah berani salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, bernama Zaadit Taqwa, yang mengkritik Presiden Jokowi dengan cara yang unik. Ia tidak demo dengan mengerahkan massa. Ia tidak berkoar-koar di media masa, mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasanya kurang tepat. Namun ia lebih memilih protes atau kritik secara sarkastik. Ia memberikan kartu kuning kepada Jokowi saat menghadiri sebuah acara di UI.
Ulah sarkastik Zaadit tersebut lantas mendapatkan respon yang berbagai rupa pula. Banyak pihak yang mengangkat jempol atas keberanian tersebut. Mereka menganggap bahwa protes yang unik itu adalah bentuk kekritisan mahasiswa melihat situasi geo-politik dan ekonomi yang terjadi. Mereka juga menganggap bahwa penyampaian kritik kepada pemerintah itu hak asasi bagi setiap warga negara. Oleh karenanya tidak boleh menyalahkan atas terjadinya peristiwa itu.
Di samping banyak yang mendukung, tentu banyak pula yang menyesalkan kejadian itu. Menurut mereka, seharusnya sebagai mahasiswa, Zaadit tidak boleh melakukan ulah yang tidak pantas tersebut. Seyogyanya sebagai generasi muda, ia harus melihat dengan teliti apa saja yang sudah dilakukan pemerintahan saat ini. Melihat secara seimbang dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan.
Ironisnya, banyak pula mereka yang tidak sepakat, kemudian melakukan perundungan kepada Zaadit. Ia dibully habis-habisan, dengan ungkapan-ungkapan yang justru menunjukkan lebih tidak pantas lagi dibanding ulah Zaadit yang murni kritik tersebut. Sebab apapun yang namanya perundungan adalah bentuk lain dari kekerasan yang sifatnya psikis.
***
Peristiwa kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan, pasti membuat sedih banyak orang. Kematian Pak Budi di Sampang misalnya, telah menggugah keprihatian dan simpati masyarakat luas. Terbukti, kasus yang boleh jadi baru pertama kali di negeri ini, mendapat simpati ratusan masyarakat Sampang yang mengikuti acara pemakaman Pak Budi. Pula para pemangku kebijakan pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sampang sendiri, melakukan evaluasi bersama, pasca peristiwa tragis tersebut.
Penulis kira langkah tersebut yang sifatnya responsif semata, belum akan mampu mengurai apa sebenarnya yang terjadi di dunia pendidikan kita. Kalau mau jujur, tentulah yang harus mengevaluasi tidak saja para pemangku kebijakan, tapi sertakan pula pihak sekolah, guru, siswa, bahkan para orang tua murid. Sebab, rangkaian peristiwa yang setiap tahun selalu terjadi tersebut melibatkan pihak-pihak tersebut.
Apakah dimungkinkan yang menjadi penyebab utamanya adalah etika atau moral yang tidak dipegang lagi? Kami kira itulah penyebab utamanya. Peristiwa-peristiwa yang telah menjadi headline besar itu menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka entah paham atau tidak, telah melakukan pelanggaran etika atau moral. Pelanggaran-pelanggaran yang justru terjadi di wilayah-wilayah atau institusi-institusi pendidikan yang seharusnya menjadi gudangnya etika atau moral itu sendiri.
Apakah para pelaku kekerasan tersebut tidak memahami bahwa identitas moral dan etika sejatinya menjadi esensi setiap institusi pendidikan? Ataukah kalau mereka paham, lalu mengapa bisa gampang melupakan? Ataukah mereka sudah merobohkan tahta moral pada dirinya dan institusi pendidikannya?
Yunani kuno, sebuah peradaban yang jauh lebih tua dari kita yang hidup di zaman milenial seperti sekarang, sejak lama menyadari. Bahwa bentuk tertinggi dari ilmu yang disampaikan di lingkup pendidikan adalah kebijaksanaan. Sebuah sikap yang menjadi mahkota umat manusia. Sebuah cita-cita yang tidak bisa diraih jika para pendakinya tidak bermoral dan beretika.
Bahkan beberapa filsuf, salah satunya Van Peursen, menyadarkan kita bahwa sebenarnya sifat ilmu atau “logos” yang dikejar, diburu, dirangkul oleh umat manusia tak akan menemui kata selesai hingga kapanpun. Artinya, perburuan dalam periode waktu yang tak terbatas itu, seyogyanya dibatasi sendiri oleh umat manusia. Dan itulah yang menjadi pekerjaan etika atau moral atau dalam bahasa Yunani disebut “ethos”.
Mengapa perlu dihentikan? Sebab semua umat manusia memang membutuhkan pemberhentian itu, karena ethos sendiri bermakna penghentian, rumah, tempat tinggal atau endapan sikap yang menenangkan. Manusia butuh perburuan, tetapi manusia juga butuh ketenangan. Ketenangan itu sendiri bisa diraih antara lain dengan cara menahan emosi agar tidak melakukan kekerasan.
Maka dari itulah, ethos atau moral atau etika harus kita taruh kembali di semua institusi dan subjek pendidikan di negeri ini. Tanamkan lagi etika atau moral sebagai rumah tempat tinggal bagi semua. Jadikan etika atau moral sebagai inti (core) pendidikan kita. Jadikan pelajaran akhlak dan moral sebagai induk di antara pelajaran-pelajaran lainnya. Sebab mungkin kita sudah lama melepaskannya. Atau bisa jadi telah merobohkan tahta suci itu yang hilang entah ke mana. Wallahu a’lam
Mojokerto, 15-02-2018
Di jenjang Sekolah Dasar (SD), kasus-kasus kekerasan terjadi baik dilakukan oleh guru kepada murid, maupun wali murid kepada guru. Kita bisa mencermati kasus-kasus tersebut di banyak media massa. Terjadi di rentang waktu sekira sepuluh tahunan ini. Hingga kini, nampaknya kasus-kasus tersebut tidak mengalami penyusutan. Kecenderungannya terus bertambah dan bertambah. Menurut catatan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) di tahun 2017 saja, sebaran kasus ini terjadi di banyak daerah antara lain Jakarta, Sukabumi, Indramayu, Bekasi, Bangka Belitung, Medan, Aceh, Lombok Barat dan lain-lainnya, seperti diberitakan tirto.id (6/11/2017).
Di jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) juga sering terjadi kasus-kasus kekerasan. Baru-baru ini dan masih sangat hangat, kita semua tersentak dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan seorang guru SMP di Jombang, Jawa Timur. Kasus ini meledak dengan dahsyat, mencoreng nama kabupaten yang populer dengan julukan “Jombang Beriman” itu. Kasus ini mencengangkan oleh karena dua sebab: jumlah korban yang banyak (27 siswi) dan profil guru tersangka pelaku pelecehan yang selama ini dikenal religius. Kasus ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut oleh kepolisian.
Di Kabupaten Bolmong, Sulawesi Utara, baru-baru ini juga terjadi kasus kekerasan. Kali ini kekerasan itu melanda seorang guru SMP bernama Astri Tampi. Seperti diberitakan linimasa Facebook yang sempat viral, bu Astri dianiaya oleh seorang wali murid dengan cara yang sangat sadis. Tangannya mengalami luka sobek akibat dipukul pelaku dengan memakai kaki meja. Kepalanya bahkan sempat akan dipukul menggunakan meja tersebut yang kacanya lebih dulu dipecahkan oleh pelaku karena murka.
Kasus ini berawal dari niat baik bu Astri yang memanggil pelaku ke sekolah karena ingin memberikan informasi jika anaknya kerap berperilaku nakal. Tetapi respon orang tua dari murid yang nakal tersebut justru berupa penganiayaan sadis yang berujung kriminalitas. Kasus ini juga masih dalam penanganan pihak berwenang.
Di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), kekerasan juga kerap terjadi. Paling gres adalah kasus kematian Pak Budi, seorang guru honorer di sebuah SMA di Sampang yang tewas setelah dianiaya muridnya. Kasus tersebut merupakan salah satu yang terbesar dan menyerap banyak perhatian kita. Beritanya viral, terblow-up dengan massif dan mendapatkan respon yang bermacam-macam dari warganet. Paling banyak tentulah mengecam dan kecewa dengan ulah murid bengal, pelaku penganiayaan tersebut.
Di jenjang perguruan tinggi, kita semua juga dihentakkan dengan ulah berani salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, bernama Zaadit Taqwa, yang mengkritik Presiden Jokowi dengan cara yang unik. Ia tidak demo dengan mengerahkan massa. Ia tidak berkoar-koar di media masa, mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah yang dirasanya kurang tepat. Namun ia lebih memilih protes atau kritik secara sarkastik. Ia memberikan kartu kuning kepada Jokowi saat menghadiri sebuah acara di UI.
Ulah sarkastik Zaadit tersebut lantas mendapatkan respon yang berbagai rupa pula. Banyak pihak yang mengangkat jempol atas keberanian tersebut. Mereka menganggap bahwa protes yang unik itu adalah bentuk kekritisan mahasiswa melihat situasi geo-politik dan ekonomi yang terjadi. Mereka juga menganggap bahwa penyampaian kritik kepada pemerintah itu hak asasi bagi setiap warga negara. Oleh karenanya tidak boleh menyalahkan atas terjadinya peristiwa itu.
Di samping banyak yang mendukung, tentu banyak pula yang menyesalkan kejadian itu. Menurut mereka, seharusnya sebagai mahasiswa, Zaadit tidak boleh melakukan ulah yang tidak pantas tersebut. Seyogyanya sebagai generasi muda, ia harus melihat dengan teliti apa saja yang sudah dilakukan pemerintahan saat ini. Melihat secara seimbang dengan mempertimbangkan nilai-nilai keadilan.
Ironisnya, banyak pula mereka yang tidak sepakat, kemudian melakukan perundungan kepada Zaadit. Ia dibully habis-habisan, dengan ungkapan-ungkapan yang justru menunjukkan lebih tidak pantas lagi dibanding ulah Zaadit yang murni kritik tersebut. Sebab apapun yang namanya perundungan adalah bentuk lain dari kekerasan yang sifatnya psikis.
***
Peristiwa kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan, pasti membuat sedih banyak orang. Kematian Pak Budi di Sampang misalnya, telah menggugah keprihatian dan simpati masyarakat luas. Terbukti, kasus yang boleh jadi baru pertama kali di negeri ini, mendapat simpati ratusan masyarakat Sampang yang mengikuti acara pemakaman Pak Budi. Pula para pemangku kebijakan pendidikan Propinsi Jawa Timur dan Kabupaten Sampang sendiri, melakukan evaluasi bersama, pasca peristiwa tragis tersebut.
Penulis kira langkah tersebut yang sifatnya responsif semata, belum akan mampu mengurai apa sebenarnya yang terjadi di dunia pendidikan kita. Kalau mau jujur, tentulah yang harus mengevaluasi tidak saja para pemangku kebijakan, tapi sertakan pula pihak sekolah, guru, siswa, bahkan para orang tua murid. Sebab, rangkaian peristiwa yang setiap tahun selalu terjadi tersebut melibatkan pihak-pihak tersebut.
Apakah dimungkinkan yang menjadi penyebab utamanya adalah etika atau moral yang tidak dipegang lagi? Kami kira itulah penyebab utamanya. Peristiwa-peristiwa yang telah menjadi headline besar itu menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa mereka entah paham atau tidak, telah melakukan pelanggaran etika atau moral. Pelanggaran-pelanggaran yang justru terjadi di wilayah-wilayah atau institusi-institusi pendidikan yang seharusnya menjadi gudangnya etika atau moral itu sendiri.
Apakah para pelaku kekerasan tersebut tidak memahami bahwa identitas moral dan etika sejatinya menjadi esensi setiap institusi pendidikan? Ataukah kalau mereka paham, lalu mengapa bisa gampang melupakan? Ataukah mereka sudah merobohkan tahta moral pada dirinya dan institusi pendidikannya?
Yunani kuno, sebuah peradaban yang jauh lebih tua dari kita yang hidup di zaman milenial seperti sekarang, sejak lama menyadari. Bahwa bentuk tertinggi dari ilmu yang disampaikan di lingkup pendidikan adalah kebijaksanaan. Sebuah sikap yang menjadi mahkota umat manusia. Sebuah cita-cita yang tidak bisa diraih jika para pendakinya tidak bermoral dan beretika.
Bahkan beberapa filsuf, salah satunya Van Peursen, menyadarkan kita bahwa sebenarnya sifat ilmu atau “logos” yang dikejar, diburu, dirangkul oleh umat manusia tak akan menemui kata selesai hingga kapanpun. Artinya, perburuan dalam periode waktu yang tak terbatas itu, seyogyanya dibatasi sendiri oleh umat manusia. Dan itulah yang menjadi pekerjaan etika atau moral atau dalam bahasa Yunani disebut “ethos”.
Mengapa perlu dihentikan? Sebab semua umat manusia memang membutuhkan pemberhentian itu, karena ethos sendiri bermakna penghentian, rumah, tempat tinggal atau endapan sikap yang menenangkan. Manusia butuh perburuan, tetapi manusia juga butuh ketenangan. Ketenangan itu sendiri bisa diraih antara lain dengan cara menahan emosi agar tidak melakukan kekerasan.
Maka dari itulah, ethos atau moral atau etika harus kita taruh kembali di semua institusi dan subjek pendidikan di negeri ini. Tanamkan lagi etika atau moral sebagai rumah tempat tinggal bagi semua. Jadikan etika atau moral sebagai inti (core) pendidikan kita. Jadikan pelajaran akhlak dan moral sebagai induk di antara pelajaran-pelajaran lainnya. Sebab mungkin kita sudah lama melepaskannya. Atau bisa jadi telah merobohkan tahta suci itu yang hilang entah ke mana. Wallahu a’lam
Mojokerto, 15-02-2018
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda