Anda
semua pasti agak-agak mengikuti pro kontra wacana pemberlakuan Full Day
School (FDS) yang sedang hangat dibahas. Atau sekedar tahu apa kepanjangan
FDS dan bagaimana konsekwensinya jika memang betul diberlakukan. Atau bahkan
tidak nyambung sama sekali dengan isu ini.
Nah,
kalau kita masuk dalam golongan yang ketiga, kemungkinan besar pikiran kita
masih selamat. Terutama dari kebingungan pro kontra FDS yang selalu
diperdebatkan antara pihak yang pro dan pihak yang kontra. Beberapa minggu yang
lalu Kompas TV pernah membahasnya pula dalam acara Dua Arah. Saya yang
kebetulan menonton acara tersebut sampai sekarang belum bisa memposisikan di
titik yang mana harus menempatkan diri.
Banyak
sekali faktor yang menyebabkan gagal paham saya terhadap wacana ini. Pertama,
wacana penyamaan kebijakan FDS kepada semua siswa di daerah manapun, merupakan
kehebohan yang selalu terjadi di dunia pendidikan kita. Tiap ganti rezim, dunia
pendidikanlah yang selalu menemui kompleksitas wacana dan kebijakannya. Jika dinilai,
bisa jadi wacana ini sekedar pola baru yang dibangun rezim baru. Sekedar itu.
Kedua,
wacana atau kebijakan yang digelontorkan biasanya sulit mendapatkan realitas
keberhasilannya yang faktual. Kira-kira adakah yang pernah menghitung perubahan
positif antara sebelum kebijakan dilaksanakan dan setelah kebijakan
diberlakukan, pada dunia pendidikan kita? Setahu saya (mohon dikoreksi) belum
ada lembaga yang pernah mengkalkulasi perubahan tersebut. Artinya antara adanya
kebijakan baru dengan kemajuan dan kemunduran prestasi siswa tidak berjalin
berkelindan.
Dan
ketiga, ini yang paling menohok. Betapapun ndakik-ndakiknya kebijakan
pendidikan diolah yang fokusnya pada lembaga sekolah, toh masih ada beberapa
realitas alternatif yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Anda pasti
terhenyak ketika di negeri ini ada beberapa orang yang tidak mambu-mambu bangku
sekolah sama sekali, atau berhenti sekolah di tengah jalan, tapi penguasaan
akan ilmu pengetahuan begitu luar biasa. Atau realitas tentang orang-orang
sukses yang dulunya juga tidak bersekolah sama sekali.
Beberapa
contoh orang sukses di bidangnya tapi tidak bersekolah: Adam Malik seorang
tokoh perjuangan, Andrie Wongso motivator, Buya Hamka ulama cendekia, atau yang
terakhir mendiang Ali Audah, seorang sastrawan dan penerjemah ulung yang hanya
sampai kelas 1 SD. Tentu masih seabrek data yang mungkin wilayahnya lokal
tentang orang-orang “khusus” seperti itu.
Adanya
fakta tersebut memberitahukan bahwa memang lembaga sekolah yang selalu disesaki
kebijakan yang terus berubah dan pasti membuat bingung insan-insan pendidikan,
bukanlah jaminan utama mampu memproduk manusia-manusia sukses. Menandakan pula bahwa
percaya kepada kemampuan diri (otodidak), dilambari kerja keras, akan mampu
membongkar dinding-dinding pendidikan yang kini seakan-akan hanya monopoli pada
lembaga sekolah.
Inilah
ironi sekolah. Sebonafid apapun program atau proyek atau kebijakan, tapi ketika
tidak mampu menggugah semangat siswa menjadi individu yang otodidak, tidak akan
mampu pula menghasilkan insan-insan yang khusus tersebut. Konkritnya, siswa
yang mampu berinovasi, bekerja keras, menyerap ilmu pengetahuan di luar program
sekolah, dialah yang akan mampu eksis menjadi orang sukses.
Sepertinya
penguasaan ilmu pengetahuan secara otodidaklah yang bisa menjadi alternatif
kebijakan pemerintah demi kemajuan pendidikan di negeri ini.
(Selamat
mendaftarkan anak-anaknya ke sekolah. Jangan lupa otodidak.)
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda