Langsung ke konten utama

Siasat Fulitik Mbah Paidi


Pertengahan Ramadan saya merasakan sebuah keganjilan suasana di dalam panti asuhan. Biasanya semua berjalan seperti apa adanya. Tapi ini lain, ada ganjalan di dalam pikiran tentang sesuatu yang kurang. Biasanya selama ini ada, ternyata mulai tengah bulan sesuatu tersebut tiba-tiba tidak terlihat.

 “Apa ya yang membuat ganjil?”, begitu pertanyaan saya dan istri. Ternyata yang membuat ganjil itu adalah raibnya mbah Paidi dari panti asuhan. Pria tua tersebut tidak pernah lagi buka puasa dan sahur di panti. Tidak pernah lagi kelihatan tidur di kamar yang sudah kami sediakan. Tidak pernah lagi nyetel radio malam-malam. Tidak pernah lagi tiduran di teras panti sambil bertelanjang dada.

Kemanakah dia? Apakah saya perlu lapor ke pemerintah desa perihal hilangnya mbah Paidi lalu pak Lurah memerintahkan para Hansip dan ketua Rt ramai-ramai menelusuri cepitan-cepitan desa, barangkali ada mbah Paidi di situ? Atau perlukah saya menghubungi Polsek agar menempel gambar sketsa wajah mbah Paidi bertuliskan “Wanted. Dicari Orang Hilang” di tembok-tembok fasilitas umum?

Resah itu pada akhirnya urung saya lakukan. Sebab jika itu saya lakukan, maka situasi masyarakat akan gondam. Bisa-bisa saya sendiri yang mendapat semprotan, masak ngurus seorang saja tidak mampu. Sebab yang lain saya peroleh dari beberapa orang yang lumayan hapal dengan mbah Paidi, dan kayaknya inilah yang tepat.

Para pemerhati mbah Paidi itu kompak mengasumsikan bahwa mbah Paidi sebenarnya ada di rumah reotnya. Kenapa? Ingat, ini bulan Ramadan, banyak orang yang bersedekah. Dan biasanya mbah Paidilah salah seorang yang mendapat sedekah berlimpah dari para orang kaya yang baik hatinya.

Menurut para pemerhati mbah Paidi lagi, tentu sebuah alasan yang logis kenapa si mbah tidak di panti lagi untuk sementara waktu. Ini semua urusan strategi atau siatas. Ya, urusan strategi dan siasat yang coba dihadirkan mbah Paidi.

Begini argumentasinya. Kenapa mbah Paidi memilih tidur dan makan sehari-hari untuk sementara berpindah ke rumah gedeg reotnya itu, karena di rumah itulah para orang kaya sudah hapal dengan keberadaan si embah. Selama ini mereka berduyun-duyun mendatangi dan memberikan sedekah kepada si embah ya di rumah itu.

Coba kalau mbah Paidi tetap ada di panti asuhan, tentu banyak orang yang kecele jika datang ke rumah si embah. Apalagi kondisi panti asuhan yang lumayan kinclong, tentu berpengaruh pada persepsi masyarakat terhadap mbah paidi. “Oh mbah Paidi sekarang sudah ada yang mengurus, maka tidak usah lagi diberi sedekah”, begitu asumsi dari para pemerhati mbah Paidi yang langsung saya amini.

Wah, jika memang asumsi itu betul berarti mbah Paidi sedang bersiasat fulitik. Dengan berpindah sementara, kembali ke rumahnya, maka peluang mendapat banyak sedekah terlihat di depan mata. Hemm, insting fulitik yang luar biasa. Saya sendiri tak mungkin sanggup melakukan apa yang diperbuat mbah Paidi.

Dan memang siasat fulitiknya mbah Paidi benar-benar tepat. Buktinya tiga hari yang lalu, di sore hari saya mendapati si embah kembali lagi ke panti asuhan. Tentu saja dengan raut muka yang sumringah, cerah, gembira, dan di tangannya ada sesuatu yang dibawa. Si embah datang ke panti asuhan dengan membawa dua bungkus beras wangi hasil pemberian orang, dititipkan ke istri saya. Padahal kami, seumur-umur belum pernah ngerasain makan nasi dari beras wangi.

Yang lebih mengagetkan lagi, si embah menitipkan segebok uang sejumlah 600 ribu rupiah kepada saya agar tidak hilang dan tidak dihutang oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Katanya inilah hasil dari transmigrasi selama dua minggu di rumah lawasnya. Hasem tenan to.
 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...