Langsung ke konten utama

Seandainya Ada Sensus Ulama


Siapakah ulama menurut antum? Wah kalau pertanyaan ini disampaikan kepada seluruh umat Islam yang ada di Nusantara ini, baik dari Sabang sampai Merauke, dari yang jenggotnya gundul sampai yang amburadul, dari para pengguna medsos cihuy sampai yang ndeso keso-keso, saya yakin pasti banyak yang bingung. Sebab jawaban dari pertanyaan sederhana tapi sangat penting itu akan memunculkan banyak nama. Bisa saja nama-nama yang tersebutkan tidak akan sefamilier dan sepopuler Prof. Quraish Shihab, Gus Mus, Habib Rizieq dan Ustad Bachtiar Nasir.

Pertanyaan itu memang sangat perlu diajukan. Sebagai negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia ini, mengetahui siapa ulama kita satu persatu merupakan persoalan yang sangat penting. Biar kita semua sadar dengan kewarasan otak kita, mengakui bahwa memang jumlah ahli agama Islam di negeri ini sangatlah banyak. Mereka dikenal dengan sebutan kyai, habib dan ustad. Atau tuan guru, buya, anregurutta, dan lain-lainnya dalam sebutan beberapa daerah di luar jawa.

Sangat tidak nyaman ketika ada beberapa pihak yang mengkultuskan pemimpinnya sebagai ulama yang sah, sehingga menafikan pendapat ulama lain yang berbeda. Ironisnya hal tersebut dipaksakan pula kepada ummat Islam lainnya. Kan kurang etis ya ketika seseorang dipaksa jadi fansnya Cristiano Ronaldo, padahal ia jelas-jelas seorang Barca lovers dan mencintai Lionel Messi karena gocekan bolanya ciamik. Ingatlah, di negeri ini untuk mengatakan halal dan haramnya selinting rokok saja, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam, apalagi menyanjung-nyanjung satu orang yang dianggapnya pemimpin umat.

Mengapa? Itu terjadi karena fakta ke-Islaman di negeri ini memang sudah berkembang dengan konsep yang berbeda-beda. Ada sejarah yang sangat panjang sehingga Islam tumbuh dalam nuansa yang majemuk. Atau menurut John L. Esposito diistilahkan sebagai “The Colors of Islam.”. Umat Islampun secara otomatis mempunyai bermacam-macam persepsi tentang siapakah ulama menurutnya. Itu sah dan tidak melanggar HAM.

Taruhlah contoh pertanyaan itu disampaikan kepada seluruh santri sebuah pesantren, maka akan muncul banyak jawaban bahwa ulama bagi mereka itu adalah kyainya sendiri. Seorang sosok yang saban hari mengasuh, menasihati, mentransfer ilmu diniyah atau pula menjadi suri tauladan bagi mereka.

Padahal jumlah pesantren di Nusantara ini sangatlah berlimpah. Mulai pesantren besar yang sudah mu’tabar, sampai pesantren kecil yang ada di kampung-kampung yang tidak terjamah pendataan Kementerian Agama. Mulai pesantren milik warga NU, Muhammadiyah, Persis, al-Irsyad, sampai pesantren yang tidak berafiliasi dengan ormas-ormas Islam satupun.

Saya kasih contoh sepele saja. Di sebuah desa yang bertetangga dengan tempat tinggal saya ada tiga pesantren berdiri dan satu sama lain saling bersaing. Tiga pesantren itu dikenal sebagai pesantren kidul, tengah dan lor. Ada pula beberapa ulama atau kyai yang tinggal di desa tersebut yang belum punya pesantren tapi punya jamaah pengajian yang mengakar kuat.

Ketika ditanya kepada santri pesantren kidul tentang siapa ulama menurutnya, maka Gus-nya itulah ulama dimaksud. Begitu pula dengan santri pesantren tengah dan lor, sangat besar kemungkinan kyainya sendiri itulah ulama yang diidolakan. Wajar, itu disebabkan para santri di pesantren-pesantren tersebut punya keterikatan yang kuat dengan kyainya. Karena memang itulah pelajaran akhlak yang dipegang selama ini.

Perlu diketahui pula bahwa fenomena satu desa dengan jumlah pesantren lebih dari satu, pasti juga ada di daerah lain. Seperti terekam dalam sebuah penelitian yang dilakukan Ahmad Syafii Mufid, dalam sebuah bukunya yang berjudul “Tangklungan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Kembali Agama di Jawa”. Satu data menarik menyebutkan di buku tersebut jika di desa Kajen kecamatan Margoyoso kabupaten Pati, terdapat empat pesantren yang punya sosok ulama atau kyainya sendiri.

Nah kalau kita urai lagi menurut aliran atau ormas Islam yang ada di Nusantara ini, tentu juga akan diperoleh varian nama ulama sekaligus varian penguasaan ilmunya. NU mengusung kyainya sebagai ulama, salah satunya KH. Hasyim Asy’ari yang ahli hadis. Muhammadiyah jelas akan menjawab bahwa salah satu ulama bagi mereka adalah KH. Ahmad Dahlan ahli organisasi. Begitu pula dengan Persis, al-Irsyad, dan ormas-ormas lainnya, dengan pendiri atau pemimpinnya yang dianggap sebagai ulama.

Apalagi jika ditanyakan kepada para pengikut tarekat. Tentu keterikatan kuat antara murid yang dibimbing dan mursyid yang membimbing, akan melahirkan anggapan wajar bila para mursyid yang menjadi pembimbing keruhaniannya itulah ulama baginya. Mereka menganggap seperti itu karena gurunya itulah yang berjasa kepadanya. Gurunya itulah yang akan mengajak serta mereka masuk ke dalam surga.

Itu pada tataran realitas sosial yang paling nyata, yang membumi di tanah Nusantara ini. Tentu akan berbeda jika dibanding dengan realitas umat Islam yang ada di dunia maya. Kini, umat Islam yang milenial, gaul, modis, cerewet, dan lain-lainnya itu, juga punya jawaban sendiri mengenai siapa ulama menurut mereka.

Ya, kita tahu sendirilah, yang absah digadang sebagai ulama panutan ya yang itu-itu saja. Siapa lagi kalau bukan yang tiap hari update status dakwah di akun medsosnya. Atau yang biasa fotonya nongkrong di linimasa pemberitaan nasional, dimana setiap yang diucapkan, dituliskan bahkan digerakkannya, adalah sabda suci yang kebenarannya absolute tanpa reserve.

Setiap apa yang diunggahnya akan dishare rame-rame oleh para umatnya. Hasil share itupun sering pula dipakai untuk bahan debat dengan “musuh kapirinnya” melalui proses asal comot. Tidak jarang pula dipakai untuk ngeplak para komentator yang berlainan pendapat dengannya dan dirasa menghina junjungannya itu.

Ini gejala apa? Mengapa mereka mati-matian membela junjungannya itu, sampai membuat ketakutan seorang bu dokter Fiera Lovita dan anak kecil yang bernama Mario? Saya menduga ini sudah gejala pengabaian dan upaya melupakan bahwa selain yang tiap hari nongol di medsos atau media massa lainnya, masih banyak sosok kyai dan ulama lainnya seumpama intan berlian yang alimnya di bidang ilmu-ilmu keislaman sangatlah dalam dan luas, yang hidupnya menyebar di pelosok negeri. Pastinya jumlah mereka lebih banyak berpuluh-puluh kali lipat dibanding yang biasanya ramai di media.

Mohon maaf dalam tiga paragraf paling akhir saya terkesan agak emosi, padahal inikan bulan puasa. Kan katanya di bulan ini emosi harus dijaga ketat agar tidak gampang jebol. Eh, tapi perlu anda maklumi juga ya, saya menulis esai ini pas barusan selesai salat tarawih dan yang jadi imam tarawih mimpinnya terlalu cepat. Sehingga badan jadi capek, mempengaruhi pula pada si emosi yang sedikit meletup.

Tapi yang jelas, di akhir tulisan ini saya ingin menandaskan, dengan didorong semangat Ramadhan yang syahdu dan juga gegap gempita anniversary-nya Pancasila, sudah saatnya pemerintah melaksanakan sensus ulama. Datangi mereka satu persatu. Dekati mereka dengan menggali kisah sebanyak-banyaknya. Dengan harapan akan terkumpul data primer tentang jumlah, nama, keahlian ilmu, sejarah singkat dari seluruh ulama yang disensus. Kemudian pampangkan data tersebut di semua linimasa medsos, biar yang sudah tergejala lupa dan abai menjadi teringat kembali akan luar biasanya jumlah ulama di negeri ini. Wallahu a’lam

Mojokerto, 02 Juni 2017


 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...