Langsung ke konten utama

Supremasi Kemanusiaan

Merenung tentang kemanusiaan, maka berfikir tentang manusia. Siapakah manusia? Kita inilah manusia: Anda dan saya. Sekalipun di antara Anda dan saya, atau Anda dan orang lainnya, terjadi perbedaan pandangan, bahkan gesekan, tetaplah semua adalah manusia. Yang tercipta dari proses dan bahan yang sama.

Namun saatnya berpeluk dengan kepentingan, banyak yang lupa akan kesamaan itu. Manusia yang merangkul kepentingannya, akan menganggap manusia lain tetaplah manusia. Tetapi tidak berasal usul dari kesamaan.

Benar. Kemanusiaan itu sikap yang menganggap kita semua ini sama. Sama yang disimbolkan oleh Rasul Muhammad sebagai satu tubuh atau gedung. Saat sebuah pilar keropos, para tembok dan atap pun akan sama tersakiti. Takut dan sedih karena gedung itu akan runtuh. Jatuh dan ambruk, sirna ditelan waktu.

Saat kepala panas kisaran 36 derajat celcius lebih, maka tangan tidak bisa lagi kuat. Kaki terasa berat untuk berlari. Kadangpun air mata merembes tanpa disadari. Semua bagian tubuh lainnya merasakan satu situasi, bahwa mereka menahan panas yang menyengat itu. Satu sakit, semuanya sakit. Satu sehat, semuanya bahagia.

Apakah semua itu berjalan secara otomatis? Tanpa perlu ada perintah resmi dalam bentuk komando bersama? Tidak. Manusia itu sebuah sistem yang unik yang tidak bisa disamakan dengan mesin diesel atau barisan tentara yang mengikuti upacara. Terdapat satu keotomatisan, rangkaian yang sirkulasinya tidak terdefinisikan, membedakannya dengan gerak benda lainnya.

Manusia, semuanya, mempunyai kesadaran yang terdalam dalam dirinya. Sebuah kesadaran yang sangat dalam yang tidak bisa dihindari oleh dirinya sendiri. Ia tahu apa yang dikerjakan. Ia paham dengan apa yang sedang diperbuat. Bahkan ia tahu jenis perbuatan dan obyeknya.[i] Kepada orang lain ia bisa menutupi atau berpura-pura. Tapi kepada diri sendiri, kesadaran terdalam itu selalu meneriakkan suara batinnya, ketika manusia berlagak, berlaku, bertindak, tidak sesuai dengan sensor batin terdalamnya.

Misalnya saja ada seorang manusia yang kebetulan bertemu dengan manusia lain yang sangat miskin. Ia berbaju lusuh. Kurus kering. Sakit-sakitan. Lalu bertamu ke rumahnya untuk meminta sedekah. Seorang manusia si empunya rumah itu boleh jadi akan bertindak tidak kasihan. Atau ia mengabaikan saja rintihan orang miskin tersebut. Seraya tidak menoleh dan meninggalkan si miskin pengemis itu keluar dari halamannya.

Betul memang, sikap yang terjadi seperti itu, bahwa si empunya rumah tidak muncul rasa iba di hatinya. Ia bertindak tidak sesuai dengan nilai luhur dari kemanusiaan, ialah menolong atau membantu orang lain yang sangat butuh ditolong. Namun perlu Anda yakini, bahwa di dalam dirinya ada pergolakan batin yang kuat. Antara mengabaikan dan menolong. Bisikan atau suara batin tentang perintah menolong tetaplah ada dengan sendirinya. Sebuah bisikan suci, namun terkalahkan dengan sisi-sisi lain dari manusia yang pandai mengelabui kata hati.

Inilah potret kenyataan hidup sekarang ini. Banyak manusia yang menganggap remeh suara-suara itu. Suara-suara atau bisikan-bisikan yang sebenarnya muncul dalam batin terdalamnya. Tentang informasi kesamaan derajat, kesamaan bahan dan proses. Serta kesamaan posisi dihadapan Tuhan yang menciptakan.

Kini kehidupan ini dipenuhi pergulatan kata beradu dengan kata.[ii] Triliyunan kata beterbangan ke manapun arah angin ditiup dan dihembuskan. Karena kata dan kata yang saling ditarungkan itulah, manusia sekarang mendewakan kata dari mulutnya. Atau kata yang sudah terkonstruk dan terkonsep dari akalnya. Siaran tivi yang saban hari berjejalan di indera kita, hanya terdiri kata dan kata. Demikian pula dengan media lainnya. Semua berisi kata yang berserakan.

Kata dan kata didewakan. Orang yang memenangkan pertarungan kata itulah dikatakan juara sejati. Kendatipun akibat kata itu pula memunculkan peperangan, saling benci, tragedi kemanusiaan, terjadi dengan mengerikan. Korban berjatuhan karena kata yang salah ditempatkan posisinya. Bom meledak oleh tentara yang disuruh atasannya berdasarkan kata: hancurkan, hanguskan, bunuh dan sirnakan. Semuanya atas sebab kata di akal dan kata di mulut, tapi tidak diujikan dengan kata atau suara di batinnya.

Supremasi kemanusiaan adalah sesuainya atau matching-nya kata di mulut dengan kata di batin. Jikapun tidak, maka akan sulit mendapatkan supremasi hukum. Apatah lagi supremasi keadilan, istilah yang pertama kali muncul dari kesadaran Emha Ainun Nadjib. Wallahu a’lam




[i] N. Drijarkara S.J, Percika Filsafat (Jakarta: PT. Pembangunan, 1978), 17.
[ii] Reza A.A. Wattimena, Filsafat Kata (Jakarta: Evolitera, 2011), 6.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...