Saya ini anak dari seorang mantan mudin. Bagi yang belum tahu siapakah mudin itu, ia merupakan kependekan dari imam al-din. Dalam bahasa indonesia kosa kata itu bermakna pemimpin agama. Tempat tugasnya di desanya masing-masing. Melihat domainnya, tempat tugas mudin memang sangat sempit. Namun dari sisi tradisi keagamaan di masyarakat, pekerjaan mudin begitu luas dan jangka waktunya panjang.
Ada seorang tetangga sering berseloroh bahwa semua urusan manusia, mulai ia masih di kandungan ibu, sampai ia mati, adalah wewenang dan tugas dari mudin. Konkretnya, saat seorang ibu muda mengandung, maka acara selamatan janin yang ada di kandungannya hampir pasti diserahkan kepada mudin. Begitu juga urusan memberikan nama, khitanan, pernikahan bahkan sampai orang tersebut meninggal, semua menjadi tugas mudin. Karena itu Anda jangan iri jika saya dan anggota keluarga lainnya sangat familier setiap harinya dengan telur rebus, bali ayam dan tahu, tumis buncis, perkedel dan tidak lupa mie goreng yang tersatukan menjadi berkat!
Jadi seperti itulah pekerjaan bapak saya dulu. Dari pekerjaan yang tak kenal batas generasi itu, bapak berhasil menyekolahkan saya sampai sarjana. Tepatnya sarjana lulusan dari kampus yang bergenre agama yang dikenal dengan sebutan kebanggaan IAIN. Anehnya, banyak pula orang yang memberikan setempel bahwa perguruan tinggi tempat saya menuntut ilmu tersebut adalah penghasil calon mudin. Padahal sebenarnya di kampus itu banyak juga diajarkan ilmu politik, sosiologi bahkan ilmu komunikasi dan filsafat, tidak saja tentang agama (Islam). Tapi setempel itu sudah lama menempel dan sepertinya akan awet. Makanya banyak teman yang suka memanggil nama saya dengan memakai embel-embel wak mudin. Ya mendingan sih dipanggil seperti itu, dari pada saya dipanggil dengan sebutan lainnya, semisal wak bajingan, abang preman atau setan gundul.
Saya haruslah bangga dengan status bapak saya itu. Bagaimanapun juga mudin merupakan jabatan desa yang sangat menyejarah. Dan Anda perlu tahu bahwa mudin sebagai jabatan di desa juga termaktub dalam sebuah buku babon yang merupakan hasil penelitian mendalam seorang Clifford Geertz yang berjudul “The Religion of Java”. Sebuah buku yang tesis utamanya “Abangan, Santri, dan Priyayi” begitu luas dan lama pengaruhnya, bahkan sampai sekarang. Dalam buku itu bahkan disebutkan bahwa salah satu tugas mudin adalah menjaga komplek makam!
Karena bapak saya dulu seorang mudin itulah, ada beberapa hal yang benar-benar “nyantol” ke pribadi saya, khususnya mengenai ilmu kemudinan. Salah satunya yang terpenting ialah pengetahuan tentang kematian yang urusannya menjadi wewenang dan tugas mudin. Sepertinya untuk urusan ini wewenang mudin memang lebih nyata terlihat.
Oleh karenanya bapak selalu menambah wawasan tentang seluk beluk ilmu perkematianan dengan membaca banyak buku yang menjadi koleksinya. Hampir tiap bulan beliau mengunjungi tokok buku yang ada di kota. Yang paling sering dibeli dari toko itu antara lain buku fiqih, kumpulan hadis dan paling favorit tentang kematian. Sehingga banyak koleksi buku yang tersimpan di lemari beliau adalah buku-buku tentang kematian. Rata-rata buku tersebut menyuguhkan konten cara meraih bahagia ketika mati. Juga konten balasan setelah kematian, meraih nikmat surga, fiqih pengurusan jenazah, dan lain-lainnya.
Yang saya maksud beberapa yang “nyantol” kepada saya itu tidak lain bahwa saya sendiri juga suka mengoleksi buku-buku yang konten utamanya tentang kematian. Salah satunya yang ditulis Jalaludin Rachmat yang bertajuk “Memaknai Kematian Agar Mati Menjadi Istirahat Paling Indah” (seperti di foto), juga buku tulisan John Izzo, seorang penulis beberapa buku best seller di Amerika, yang bertajuk “Temukan 5 Rahasia Abadi Sebelum Mati”, serta buku-buku lainnya.
Setelah saya membaca beberapa buku tersebut, senyampang menauladani kebiasaan bapak, saya merasakan kesan yang sangat berbeda. Buku-buku tentang kematian selalu memberikan visi atau nasihat yang menunjam jika ingin kematian kita nanti bahagia. Bahagia? Betul, kematian itu memang satu tangga kbahagiaan bagi beberapa orang yang “berprestasi” di dunianya. Seperti sebuah sabda Nabi yang menyatakan bahwa maut itu ibarat ghanimah (harta rampasan perang yang selalu dinantikan).
Berbeda sangat ketika seseorang itu tidak punya “prestasi” di dunianya, bahkan lacur. Orang tersebut katanya, akan tetap mengaku jika dirinya tidak pernah berbuat lacur sama sekali dalam kehidupannya. Tapi apalah daya, Tuhan sangatlah Maha Kuat Radarnya, bahkan terhadap seekor “tengu” yang berlindung di balik itunya semut yang bersembunyi di dalam gua, sehingga pengakuan hoax orang yang lacur tersebut tetaplah percuma. Kematian orang yang seperti itu merupakan tangga menuju kerugian yang sejati bagi dirinya. Kata penulis buku-buku tersebut.
Namun dari semua kesan berbeda itu tetap ada beberapa hal yang menggelitik ketika membaca buku-buku itu. Antara lain bahwa buku-buku tentang kematian tersebut terasa “kurang” begitu konkret atau serasa di awang-awang, sebab buku-buku tersebut ditulis ketika penulisnya masih hidup. Coba diandaikan jika ditulis saat penulisnya sudah di alam kubur dan ia benar-benar merasakan kebahagiaan, pasti buku-buku tersebut akan laris manis di pasaran. Wallahu a’lam
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda