Beberapa edisi hari Minggu di dua bulan terakhir ini saya melaksanakan beberapa aktifitas dadakan yang nuansanya sama. Aktifitas dadakan tersebut sama-sama urusan menyatukan dua sejoli yang akan diikat dalam tali pernikahan. Konkretnya, kalau tidak melamarkan gadis, ya menerimakan lamaran balik dari keluarga si gadis kepada keluarga si pemuda tersebut. Walhasil sayapun semakin akrab dengan onde-onde, lemper, lapis dan air mineral. Berakibat sangat signifikan terhadap “kemakmuran” tubuhku.
Hari Minggu besuk sekira bakda dzuhur saya pun diminta tolong salah seorang tetangga untuk melamar seorang gadis. Rumah gadis tersebut ada di daerah agak pedalaman di sebuah kecamatan yang masyarakatnya terkenal “beretos kerja” tinggi. Namun percayalah, saya tidak melamar gadis tersebut untuk diri saya, akan tetapi untuk anak tetangga saya itu.
Kebetulan si pemuda yang akan dilamarkan ini sudah yatim sejak madrasah ibtidaiyah. Ayahnya sejak lama meninggal dunia dan meninggalkan juga titipan berupa dua anak perempuan dan laki-laki kepada si istri yang seterusnya menjadi single parent. Biasanya seorang yatim yang ditinggal mati bapaknya sedari kecil akan sulit mencari sosok ayah yang mau dan mampu mengkontrol, memonitor dan mendidik dirinya.
Pemuda inipun dikenal juga seperti itu. Dia bukanlah nakal, tetapi sebenarnya sekedar ekspresi bahwa dirinya butuh diperhatikan oleh siapapun yang mau menjadi sosok “bapaknya”. Hanya itu. Oleh karenanya jika anda mengetahui ada anak yatim di lingkungan anda yang terkesan dableg bin nakal bin angel kandanane, itu hanya ekspresi diri atas ketiadaan bapak, serta mengharap andalah yang menggantikan sosok bapaknya itu. Dalam kondisi seperti itu, sebenarnya andalah yang bertanggungjawab atas baik-buruknya mereka.
Kembali ke lamaran, beberapa event terakhir yang saya hadiri, nampak oleh mataku selalu kebahagiaan dan senyum-tawa akrab menempel di wajah mereka. Saya mensinyalir senyum dan bahagia yang “pecah” antara para tamu pihak yang melamar dan keluarga pihak yang dilamar adalah kesadaran diri. Tawanya ikhlas, bahagianya tidak dibuat-buat, lepas begitu saja. Mereka saling berdialog satu sama lain, mencoba mencipta titik temu dari keberbedaan itu.
Adanya realitas kebahagiaan di saat lamaran atau pernikahan membuktikan bahwa bersatu itu enak. Bersatu itu vitamin atau mineral di masyarakat yang mampu melahirkan nikmat kebahagiaan. Bahagia sendiri adalah jalan menuju kesuksesan di dua “sandal” kehidupan manusia: dunia dan akhirat. Atau bisa dimaknai bahwa pernikahan adalah proses tauhidi, nyawiji, menyatukan diri di antara dua identitas yang berbeda lahir dan batin untuk meraih kerahmatan Allah.
Apakah selalu seperti itu? Tentu saja tidak. Beberapa peristiwa lamaran, bahkan pernikahan, ada pula yang dicuacai body language penuh kesedihan, tidak tenang dan penyesalan. Yang seperti itu biasanya diawali oleh perilaku yang salah: MBA (Metengdisek Babahno Akadnikahkari), penganten tangkepan hansip dan atau Salome (satu lobang rame-rame: meminjam istilahe wong kua hihihi).
Ketika di awal sudah salah, boleh jadi menjadi faktor penguat kepada akhir yang juga salah. Kata para sufi jika ingin hidup anda diakhiri dengan kebaikan, maka awalilah dengan kebaikan pula. Atau meminjam istilahnya Cak Nun, hidup itu kalau bisa “khusnul awaliyah dan khusnul wasathiyah untuk mencapai khusnul khatimah”.
Nampaknya lamaran atau pernikahan yang sedih bin tidak ada gairah bahagia, akan gagal memahami hakikat khusnul khatimah itu, mungkin. Ah, tapi tidak perlu pesimis, selama masih hidup di dunia, yang khilaf bisa segera bertobat dengan sangat serius dan sungguh-sungguh. Kecuali yang korupsi e-KTP tobatnya harus dipenjara dulu.
Oleh karenanya kita perlu memahami betapa pernikahan itu benar-benar sebagai proses sakral pentauhidan, menyawijikan antar keberbedaan. Kalau bersatunya dua keluarga itu begitu besar maknanya, maka kebalikannya, bercerai atau pecah kongsi akan menimbulkan kesedihan dan kenestapaan. Boleh jadi pula melahirkan dendam. Sehingga dalam tradisi nusantara tidak ada dikenal prosesi bercerai atau pecah kongsi tersebut. Selalu kasus yang seperti itu berusaha ditutupi dengan pintu rahasia yang dikunci rapat.
Menurut tradisi kita, kesedihan dan kenestapaan jangan sampai diketahui orang lain. Takutnya orang lainpun ikut bersedih pula. Tapi namanya manusia sekarang yang dikenal sebagai generasi milenial, jika terjadi peristiwa bercerai atau pecah kongsi di sebuah keluarga, banyak pula yang menertawai dengan girang, bahkan berbahagia di atas nestapa orang lain. Mereka sangat pintar menuliskannya sebagai status medsosnya, biasanya berupa kalimat, “rasain lo, itu dulu pacarku, bodoh”, “gua kata juga apa, babi tidak bisa disatukan dengan kebo” atau “bersedihlah sekarang, besok kau akan bahagia dengan aku”.
Well, kesimpulannya memang lebih enak bersatu dari pada pecah kongsi. Sama seperti sebuah metode fisio terapi yang mengajarkan agar ketika badan kita capek seharian bekerja, malamnya silahkan kedua telapan tangan kanak dan kiri anda saling dielus-eluskan satu sama lain. Katanya elusan atau sentuhan antar kulit yang halus akan membuat kondisi tubuh menjadi rileks, fresh, dan istirahatpun bisa nikmat.
Itu!!
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda