Kemarin ada tiga orang kerabat yang berkunjung ke rumah dalam rangka lebaran. Beliau bertiga sedulur misanan dari bapak saya. Rumahnya di desa Blimbing Kesamben Jombang. Ketiganya anak dari pamannya bapak yang dikenal dengan sapaan Paman Mirhan. Konon profesinya dulu sebagai seorang mudin. Sama dengan Ahmad Dirham, kakek saya. Persis seperti bapak yang juga mantan mudin.
Tiga anggota keluarga semuanya mudin. Bahkan kakek dari ibu sayapun, yang asli Rembang, juga seorang mudin. Benar-benar monarki mudin ada di keluarga saya. Tapi apalah arti mudin itu, sebab dulu yang dipentingkan adalah pengabdian, bukan gaji atau kekuasaan. Mudin bukanlah penguasa seperti gubernur atau bupati. Beberapa bulan yang lalu saya pernah memposting siapakah mudin itu.
Nah, salah satu dari tiga anak mbah Mirhan tersebut bernama Kholil. Darinya saya mendengar sebuah cerita tutur (folklor) yang tidak usah dipersoalkan validitas sejarahnya. Paling penting serap saja maknanya.
Berawal dari pertanyaan ibu saya yang dulu pernah mendengar dari mbah Mirhan bahwa anak-anak jangan pernah diberi makan terasi. Saya kaget mendengar pertanyaan itu. Lha wong saya seneng banget sambel terasi. Kemudian pak lek Kholil pun memulai menjelaskan bahwa “larangan” tersebut memang benar sebab ada sejarah yang konon bersambungan dengan Wali Sanga.
Menurut pak lek Kholil yang mendapat cerita dari mbah Mirhan, dulu pada zaman Wali Sanga membangun Masjid Agung Demak, ada seorang pemuda yang turut serta ikut kerja bakti. Setiap selesai kerja bakti membangun masjid Demak dari kayu hutan tersebut, ia selalu diberi upah berupa upilan-upilan atau lebihan-lebihan dari kayu jati yang tidak bisa dipakai lagi. Sampai kemudian terkumpul banyak di rumahnya.
Orang tua pemuda ini akhirnya merasa heran atas perilaku anaknya itu dan kemudian bertanya. Terutama mengenai siapa yang telah memberikan itu semua. Pemuda itu menjawab bahwa para Sunanlah yang telah memberikan upah. Semua terkumpul karena tiap hari ia ikut bekerja bakti dan selalu diberi upah berupa “sampah” kayu tersebut.
Orang tua pemuda tersebut bahagia mendengar jika para Sunanlah yang memberi kepada anaknya itu. Sehingga mereka memotivasi anaknya agar tiap hari ikut bekerja, biar bisa terus bertemu Sunan, ulama-ulama yang dihormati. Setiap kali sebelum berangkat mereka selalu memberi makan anaknya tersebut dengan lauk garam, sebab memang mereka keluarga miskin.
Beberapa hari makan nasi dengan lauk garam, ia selalu bisa bertemu dengan para Sunan. Tiba-tiba terjadi keanehan. Ketika orang tuanya berubah memberi makan dengan lauk terasi, mendadak sejak peristiwa itu, ia tidak pernah bertemu lagi dengan para Sunan. Padahal setiap kali bertemu para Sunan, batinnya sangat bahagia.
Kisah ini kemudian disimpulkan oleh orang-orang zaman dulu, bahwa jika ingin bertemu orang-orang suci, maka sucikan dulu batinnya. Bersihkan dulu fisiknya pula dari isi yang kotor dan haram. Salah satunya jangan memakan apa saja yang bernyawa dan jauhi dari bahan makanan yang prosesnya buruk. Terasi merupakan gabungan dari dua hal buruk tersebut: berasal dari mahluk bernyawa (udang) dan campuran dari benda-benda yang sudah busuk.
Oleh karenanya, ketika di dalam lambung si anak tersebut sudah terisi terasi yang kotor tersebut, maka lahirnya pun sudah tidak bersih. Berpengaruh pula terhadap batinnya. Hal itulah yang menjadikan hijab untuk bisa bertemu lagi dengan orang-orang suci seperti para wali tersebut.
Sekali lagi ini cerita tutur. Ambillah sari pati kisahnya saja. Kalau kemudian Anda tiba-tiba tidak menyukai terasi lagi, berarti Anda lebih menyukai saos dan mayonaise. Kan gitu?
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda