Langsung ke konten utama

Kyai Uban


Tidak terasa usia jalan 35 tahun. Ada yang bilang masih muda. Dikatakan tua kalau nanti sudah masuk tahun ke 50. Aku sama sekali tidak sepakat. Terutama setelah melihat kondisi rambut yang tiap hari nampak berganti suasana. Cermin di lemari rumah atau kaca spion motor Supraku, keduanya jujur membisiki, “Hai men, itu lihat. Sudah ada banyak uban di kepalamu.”

Jelaslah sudah, bagiku dengan munculnya uban berkeliaran di kepala, aku harus jujur bilang, kini sudah tua. Usia belum 40 tahun, namun para uban yang tumbuh setiap hari, membuatku harus menjadi tua, dalam beberapa hal. Dan menjadi tetap muda dalam beberapa hal pula.

Misal, tua dalam melihat diri dan menilai diri. Inilah saat yang tepat buat diri untuk sigap melihat perkembangan diri. Terutama hitungan-hitungan prestasi dan perilaku-perilaku pongah. Saatnya melakukan penimbangan antara dua raport kehidupan itu. Banyakan yang mana. Lebih bermutu yang mana.

Saatnya pula tidak terlalu menggubris atau ngerasani kekurangan orang lain. Mudah-mudahan bisa. Ada rasa takut apabila terlalu ngerasani kurangnya, jeleknya, buruknya orang lain, malah akan menidurkan diri untuk introspeksi melakukan penimbangan-penimbangan itu. Bayangkan jika ternyata tertidur terus, merem terus, pedenya kebablasan, bisa-bisa bangunnya pun susah. Akibatnya tubuh akan benar-benar gemuk. Terisikan para cacing dan virus bernama dosa.

Ngeri juga membahas akibat si uban tadi. Kok kayaknya hidup benar-benar akan bertemu dengan senjakalanya. Masak merasa tua terus tanpa pernah merasakan pula kemudaannya. Tapi syukurlah, rasa itu masih ada dalam diri bahwa sebenarnya diri ini masihlah muda dan tetap muda selama-lamanya.

Misal, dalam urusan ilmu dan pengetahuan, sampai saat ini aku masih berapi-api. Masih senang mengulik yang sulit-sulit, masih segar fikiran ketika digerojok wacana-wacana baru. Masih juga sering mendengar lagu-lagu Dream Theater, band rock favorit. Masih sering merasa terbakar jiwa tatkala melihat ketidakadilan dan kemunafikan (gayamu men). Dan itulah nikmat kehidupan yang memudakan usia.

Betul. Ini yang sungguh terasakan di adrenalin tubuh ini. Silakan ditiru untuk hal ini. Caranya baca buku, majalah, artikel, koran, pokoknya apa saja yang bernama tulisan. Lebih spesifik cari yang jlimet-jlimet, aku jamin pasti akan terjadi ombak kebingungan. Akan tersulut api keraguan. Nah, di situlah kemudaan usia akan muncul dengan sendirinya. Sebab aku masih sangat percaya bahwa usia muda itu usia penuh kebingungan, kebimbangan atau keraguan.

Kalau dianalogikan berarti tua dan muda itu ibarat keyakinan dan kebingungan. Usia tua hidup harus diisi keyakinan dan usia muda hidup harus disemproti kebingungan atau kebimbangan. Memang paradoks, tapi itulah kehidupan manusia ini.

Beberapa ahli hikmah berkata, manusia itu makhluk tentatif. Makhluk yang berisi dan beraksi penuh ketidakpastian. Kadang baik, kadang buruk. Kadang senang, kadang susah. Kadang merasa tua, kadang merasa muda. Beda dengan malaikat dan setan. Satu, praktek hidupnya penuh kebaikan terus menerus. Satunya lagi buruk dan buruk, menjerumuskan, menyungsepkan, menjongkrokkan manusia.

Jadi itulah gunanya punya uban. Ia laksana kyai alim yang saban hari menasihati kita. Benar-benar anugerah dari Tuhan yang bertujuan menyampaikan pengingat biar tidak lupa. Pengiling ben gak lali.

“Ladys and gentlemen, jangan lakukan itu, ingat kamu sudah tua. Jangan mendekati itu, ingat sudah udzur. Tidak usah macem-macem dalam hitup, ingat putihnya rambut tanda usia akan tamat. Jangan sombong, ingat langit. Jangan gumede, ingat gunung meletus, dan lain sebagainya,” adalah bisikan-bisikan nasihat penuh hikmah dari sosok kyai bernama uban itu, ke dalam batin ini.

Akan halnya bagi orang yang rambutnya masih hitam legam, jangan dulu merasa sumringah, gembira ria, bahagia dan bangga, merasa diri masih muda. Sebab ternyata antara yang sudah beruban dan yang rambutnya masih hitam kinyis-kinyis, jumlah kematiannya saling bersaing. Tak percaya, tanyakan saja pada pak mudinmu sendiri-sendiri. Dialah pemegang buku register kematian di setiap desanya.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bapaknya Satpam, Anaknya Doktor: Refleksi Hari Pendidikan Nasional

Kemarin malam (02/05/2018) talkshow Hitam Putih yang ditayangkan Trans7, mengundang beberapa bintang tamu. Di edisi spesial Hari Pendidikan Nasional tersebut, tontonan insipratif yang digawangi Deddy Corbuzier dan dikerneti Okky Lukman itu mendatangkan satu keluarga dari Yogyakarta. Keluarga tersebut sangatlah luarbiasa. Kisahnya sangat inspiratif, terutama bagi keluarga-keluarga lainnya, dalam hal betapa besar pengorbanan orangtua terhadap pendidikan anak. Ayah, yang bernama Teguh Tuparman, profesinya hanya sebagai satpam. Ibu, namanya Sri, berjualan di warung kecil miliknya. Bisa dibayangkan bahwa profesi keduanya itu pasti menggambarkan betapa keluarga tersebut sangatlah sederhana. Keluarga yang sangat minim ekonomi. Atau, keluarga yang pas-pasan. Namun kondisi ekonomi yang pas-pasan itu, tidak menutup semangat keduanya untuk mengkuliahkan ke-empat anaknya. Paling luarbiasa mampu menanggung biaya kuliah S3 putri tertuanya, bernama Retnaningtyas Susanti. Di acara yang selalu ...

Kejujuran Tak Butuh Dipertahankan Mati-matian

Jamak di masyarakat kita bahwa yang namanya pernyataan itu butuh bukti yang menguatkan. Bukti diajukan agar pernyataan yang dikeluarkannya tidak dianggap bualan belaka. Apalagi yang ada hubungannya dengan berita atau informasi. Orang kalau ingin informasi yang disampaikannya dipercaya orang lain, maka salah satu unsur utamanya adalah adanya bukti. Semakin bukti itu masuk akal, semakin dipercayailah informasi tersebut. Kita pasti pernah mengalami dua hal. Pertama, kita dimintai bukti oleh orang lain atas ucapan kita. Dan kedua, kita juga pernah meminta bukti dari orang lain atas ucapannya. Oleh karena itu bukti dan ucapan atau informasi ibarat pasangan suami istri yang tidak boleh diceraikan. Sebab kalau suatu saat diceraikan, maka si pengucap pernyataan tanpa adanya bukti bisa dicap “gedabrus” oleh orang lain. Orang kampung sangatlah menjauhi pangkat “gedabrus” menempel di pundaknya. Memang dari cara pengucapannya, kata “gedabrus” itu terkesan lucu. Kata yang sama sekali tidak t...

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini, ...