Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2017

Mahasiswa dan Perpustakaan, Serta Pertemuan Saya dengan Jin LGBT

Saya segolongan orang yang wah woh, di mata para orang cerdas macam Anda dan juga di mata orang wah woh yang sama dengan saya. Dan itu, macam Anda juga. Karena wah woh, saya butuh sekolah. Sekolahlah saya ke jenjang yang lebih tinggi. Supaya wah woh saya berkurang. Sedikit saja sudah lumayan. Saya sekolah di sebuah kampus yang punya perpustakaan. Alhamdulillah, berkunjunglah saya ke perpustakaan itu. Setelah saya masuk, ternyata di perpustakaan itu mengenakkan.  Nyaman. Seger. Ada AC yang membuat gerah saya hilang. Dan hampir semua yang masuk ke dalam perpustakaan pasti ingin menghilangkan “gerah” keingintahuannya akan ilmu yang membuncah dan menggelora. Eh, ada juga yang ingin agar gerah (ini benar-benar gerah) di badannya hilang oleh hembusan udara dingin dari mesin robot yang berbentuk kotak itu. Sebuah kegerahan yang sangat nyata akibat terlalu banyak ngerumpi di warung kopi. Bersama rekan-rekan sesama pecinta wedang kopi yang jarang mandi. Makanya sumuk. Ketika s

Gus Dur Guru Keikhlasan

Mba Inayah Wulandari mendapat kejutan dari Bianca Liza, co host Tukul Arwana dalam talkshow The Interview With Tukul Arwana yang ditayangkan dua hari yang lalu (13/08). Kejutan itu berwujud sebuah kotak berwarna coklat. Iapun menerima kotak itu dan membukanya. Didapatinya dalam kotak itu sebuah kantung kain bercorak batik warna hijau. Dipegangnya kantung kain tersebut. Ia menimangnya. Meraba-raba kantung bertali itu. Sejurus kemudian membukanya. Ketika mengetahui wujud benda dalam kantung tersebut, tiba-tiba matanya sembab. Nampak jelas air mata membasahi pipi perempuan cadel, putri bungsu Gus Dur dan Ibu Shinta Nuriyah. Kejutan tersebut sungguh membuatnya terharu. Benda itu sangat dikenangnya. Ia pun bercerita di depan Tukul, Bianca, Ibu Shinta Nuriyah yang menjadi bintang tamu utama, dan juga para penonton talkshow yang tayang tiap Minggu malam di Kompas TV, bahwa cd player mini itu pemberian Gus Dur, ayahnya. Mba Inayah mengungkap cerita di balik kejadian itu. Dulu

Pemuda Realistis

Saya lihat anak-anak muda yang baru lulus sekolah beberapa tahun terakhir ini banyak yang bingung. Mereka setiap pagi wara wiri dengan motornya. Pulangnya sore, kemudian nongkrong dengan teman tongkrongannya. Nongkrong di tempat favorit mereka. Tertawa, suka ria, jingkrakan, dan seabrek gerakan-gerakan lainnya. Kemudian pulangnya malam, bahkan dini hari. Jumlah mereka lumayan banyak. Di hampir lingkungan banyak anak muda yang rutinitasnya seperti itu. Yaumiyah-nya diisi aktifitas yang saya yakin mereka sebetulnya paham baik dan buruknya. Cuman mereka perlu dibuka saja pintu kesadarannya, tentang aspek baik dan buruk yaumiyah yang semacam itu. Setelah ditelusuri, ternyata rata-rata mereka diselimuti bingung level beneran. Sumber kebingungan itu terletak pada kondisinya yang masih nganggur (non job) oleh karena belum mendapat panggilan kerja dari perusahaan yang sudah dilamarnya. Menurut pengakuan mereka, sudah puluhan perusahaan yang sudah dimasuki surat lamaran, tapi belum satupun

Selebritis, Pemilu dan Turunnya Kualitas

Politik di negeri ini masih menjadi primadona bagi banyak kalangan. Padahal suhu politik itu sendiri tetap panas hingga sekarang ini. Paling dahsyat tentu terpantik Pilkada DKI Jakarta yang dihelat tahun ini. Demo besar-besaran terjadi beberapa kali. Pro kontra dan pecah belah menjadi hidangan yang harus ditelan oleh masyarakat. Boleh dibilang saat itulah politik ibarat sebuah wajan raksasa yang siap merebus kita semua. Akses informasi yang mudah, ditambah banyak media massa nasional yang saling berhadap-hadapan satu sama lain, membuat masyarakat di daerah ikut tersulut pula hawa panas tersebut. Sumber api memang datang dari Jakarta, tapi kilatannya menyebar jauh sampai ke daerah pelosok. Jujur harus diakui, konstalasi dan kontestasi politik yang super panas itu menjadi trauma bagi banyak orang. Namun perlu diakui pula, sepanas apapun atmosfer di setiap pesta demokrasi di negeri ini, tidak banyak berpengaruh pada jumlah kandidat yang turut dalam proses pemilihan umum. Saya

Salahnya Orang Dulu dan Orang Sekarang

Tidak ada orang yang tidak pernah salah. Tapi bukan berarti tidak ada satu orangpun yang tidak pernah bertindak benar. Tiap orang pasti pernah melakukan dua hal yang saling bersaing tersebut. Itulah esensi kehidupan manusia sebagai tanggung jawab mengatur dunia ini. Oleh karenanya jangan pernah mengaku-ngaku banyak benarnya. Sebab, kesalahan justru akan timbul dari pengakuan itu. Merasa diri paling suci, sama pula menunjukkan kesombongan diri. Memang yang ia lakukan selama ini banyak benarnya. Namun dengan hanya satu ungkapan bernada sombong dan merendahkan itu, akan bisa menjadi langit kesalahan yang menutupi banyaknya kebenaran yang sudah ia lakukan. Salah satu pemandangan sosial tersebut terjadi pada orang-orang di era sekarang ini. Dan itu menjadi pembeda yang sangat tegas dibanding orang-orang dulu. Mari kita selami perbedaan itu. Saya dan anda pasti mengetahui bagaimana pengalaman orang-orang tua dulu, terutama wujud salah tindakan yang mereka lakukan. Mereka me

Duhai Para Lelaki Berjubah

Masjid jami’ di kampungku berdiri di pinggir jalan besar provinsi. Bangunan dua lantai itu selalu jadi tempat ampiran para tamu yang sedianya salat atau sekedar rehat. Setiap hari, siang, sore dan malam, pasti ada satu dua tamu yang duduk santei di teras. Sembari ngitung laporan penjualan, bagi yang profesinya salesman. Ada juga yang sambil momong anaknya, sementara si bapak tidur lelap di pinggirnya. Sering pula mereka duduk bareng sambil makan nasi bekalnya. Bahkan ada pula yang mampir kencing doang. Tak masalah. Toh masjid memang tempat untuk kemanusiaan, bukan untuk kesombongan. Sekira senja kemarin, nampak pula beberapa tamu yang sedianya salat maghrib di masjid yang bernama al-Abror itu. Masjid yang diresmikan Sularso, Gubernur Jawa Timur beberapa puluh tahun yang lalu, di sore itu terlihat ramai seperti biasa. Jamaah orang sekitar masjid berdatangan. Anak-anak kecil, bermain sepeda anginnya di halaman, sembari menunggu iqamah dikumandangkan. Aku bersama putri kecilkupun t

Tasyakuran

Kira-kira pernahkah Anda dalam satu bulan saja tidak mendapatkan satupun undangan tasyakuran atau kendurenan atau selametan dari tetangga Anda? Nalar wong ndeso pasti menjawabnya belum pernah. Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya tasyakuran atau selametan atau kendurenan (selanjutnya disingkat TKS) telah menjadi darah daging kita. Ia menjadi tradisi luhur yang digagas nenek dan kakek moyang kita yang masih terjaga hingga sekarang ini. Tapi jangan pernah bertanya siapa tepatnya yang pertama kali mengadakan TKS di Nusantara ini. Atau lebih pelik lagi, jangan pernah mengulik dengan detail tanggal, bulan dan tahun pertama kali tradisi kolosal ini diadakan. Sebuah tradisi yang sudah dikatakan luhur, hanya menuntut kita untuk sesering mungkin mengadakannya atau segiat mungkin mendatanginya ketika kita mendapat kehormatan diundang para tetangga yang berhajat. Salah satu poin penting yang menjadikan tradisi ini luhur adalah manfaat. Terutama rekatnya ikatan vertikal dan horizontal