Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2017

Mbah Paidi, Baywatch dan Konsepsi Aurat

Film Baywatch yang tahun ini kembali dibuat versi terbaru, merupakan film yang sangat populer. Dulu film produk Amrik ini terkenal sebagai serial televisi yang disukai banyak orang. Bahkan masyarakat kita juga sangat doyan menonton film yang jam tayangnya di atas pukul 21.00 WIB. Pokoknya kalau ada nuansa pantainya, masyarakat kita pasti suka. Saya masih teringat zaman saya kecil, ketika asyik-asyiknya nonton tivi di rumah tetangga, tiba-tiba mereka meminta kami pulang. Alasannya sepele dan ada benarnya juga. Mereka mengatakan di hadapan kami yang ketika itu masih SD, bahwa film Baywatch akan tayang dan ini tak patut ditonton anak kecil. Awalnya saya tidak bisa terima, lha wong nonton film saja memakai batasan dan larangan segala. Saya mengintip apa sih sebenarnya film Baywatch. Halah, ternyata film yang hanya menayangkan orang-orang yang berjemur di pantai. Mereka diawasi oleh polisi pantai, yang merupakan lakon utama dalam film tersebut. Yang aneh itu memang bajunya. Mayoritas m

Perlu Makan

Manusia itu makhluk fisik dan non fisik. Fisik manusia lebih utama dibanding non fisiknya. Sebab yang urusan fisik adalah penopang urusan non fisik. Kita pasti pernah mendengar untuk urusan memilih mana yang didahulukan antara makan atau shalat, pesan agama mengutus kita untuk lebih mendahulukan makan dari pada shalat. Itu nyata menandaskan, ketika fisik kuat, niscaya kekuatan non fisik akan kuat pula. Salah satu wujud kekuatan non fisik tersebut adalah motivasi untuk beribadah, apapun jenis ibadah itu. Kekuatan non fisik manusia tertumpu pada kekuatan hati dan akalnya. Hati akan lurus merasakan nikmat jika memang ditopang kebutuhan fisik yang terpenuhi. Akalpun akan mampu berpikir tentang peradaban agung jika ia terasupi gizi. Bahkan iman, yang menjadi software utama setiap pemeluk agama dan keyakinan, akan lebih menancap di hati ketika urusan makan, minum, serta kebutuhan dharuriyah-nya benar-benar tercukupi. Pelajarilah ungkapan berita nabi tentang kefakiran dekat dengan kekufu

Jeritan Hati Seorang Ibu: Refleksi Hari Santri

Aku pernah bertemu dengan seorang ibu sepuh beberapa waktu yang lalu. Kami bertemu di situasi tanpa kesengajaan. Saat itu aku sedang mendampingi bapak mengantri giliran fisioterapi di RSI Sakinah, sebuah rumah sakit di Mojokerto, yang sudah tiga tahun menjadi tempat jujugan bapakku berobat. Sementara si ibu sepuh sedang menunggu anaknya yang opname karena tipus, juga di tempat itu. Kamar anak si ibu berada tepat di belakang ruang fisioterapi, tempat bapakku akan dibenahi otot-otot dan aliran darahnya. Prediksiku mungkin sejak tadi beliau sudah wara wiri di depanku. Tapi aku tidak menyadarinya.  Maklum, aku sedang umek dengan facebook di hapeku. Beliau melihatku duduk di kursi paling pojok. Memojok diantara para pesakitan yang ingin segera meraih bintang-bintang di langit. Mungkin, beliau sengaja ingin menemaniku di saat keterpojokanku yang sangat lama. Aku sendiri tidak menyadari tiba-tiba beliau sudah ada saja duduk di samping kananku. Ibu itu menyapaku dengan sebutan Mas. Beli

Ke Kampoeng Ilmu Lagi

Beberapa waktu yang lalu saya pernah menuliskan pengalaman saya berkunjung ke Kampoeng Ilmu yang berada di Jalan Semarang Surabaya. Tulisan sederhana tersebut – yang tampil di Facebook sebagai status harian – memang merupakan narasi pengalaman paling perdana saya mengunjungi dan berburu buku di tempat yang sangat ikonik di Kota Surabaya itu. Sukurlah hari ini saya bisa kembali berkunjung untuk kedua kalinya. Tentu ada beberapa peristiwa yang membedakan dengan pengalaman pertama saya dulu dan akan saya narasikan dengan uraian sederhana di paragraf-paragraf selanjutnya. Saya memang bersukur dengan kesempatan kedua ini. Kesempatan yang dipenuhi harapan agar saya bisa menemukan lebih banyak lagi buku-buku unik dan menarik. Situasi yang menyuguhkan banyaknya lapak dan banyaknya buku yang disusun-display, membawa bisikan positif tersebut kepada diri saya. Bisikan itu berupa optimisme bahwa ketika saya pulang dari tempat menyenangkan tersebut, saya bisa mengusung berpuluh-puluh judul buku.

Bonang 16

Tidak ada contoh empirik tentang parade nilai kemanusiaan di enam hari ini kecuali yang aku cerap di Bonang 16. Bonang 16 adalah ruang sosial, antropologi, psikologi, etika, dan tentu saja medis, yang ukurannya hanya kisaran 10 meter kali 5 meter. Tentu luas ruangan yang tak akan mampu menampung Indonesia. Tetapi di ruang yang tidak wah itulah aku mendapat satu gambaran tentang wajah kehidupan yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia. Penghuni yang sah di ruang itu hanya tiga orang: Cak Ni, Cak So dan Cak Dul. Sementara penghuni yang tidak tercatat yang terdiri para pensupport, pembantu, dan pendoa, jumlahnya melebihi mereka bertiga. Interaksi fisik dan psikis merekalah yang menjadi gambaran tentang Indonesia yang apa adanya dan yang seharusnya. Pertama, Cak Ni. Lelaki 70 tahun ini sangat aku kenal sampai di tulang sumsumku. Cak Ni adalah nama panggilan penuh akrab dari adik-adiknya. Cak Ni baru saja mendapat anugrah dari Tuhan. Terbaring lunglai, sebab sudah 10 hari ini ia h