Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Jika Istri Mengandung, Itulah Kekayaan Tak Tepermanai

Istriku hamil. Itu aku dengar entah di hari apa, tanggal berapa, aku lupa. Pokoknya di suatu pagi, istriku sedang menghampiriku. Ketika itu di tangannya terpegang test pack . Sungguh aku termasuk suami yang bodoh ketika disuruh membaca simbol di alat itu. Apalagi disuruh memaknainya. Otakku tak sanggup bekerja jika alat yang pipih sepanjang 10 sentimeter itu tiba-tiba dihadapkan di depanku. Tanpa perlu berpikir, akupun langsung menanyakan apa maksudnya. Ia menjawab dengan memasang wajah tersenyum cerah. Bahwa ia positif hamil. Telah ada nafas kehidupan di rahimnya. Tiba-tiba cahaya memendar, seakan keluar dari raut wajah seorang ibu yang melahirkan kedua anakku itu. Iya, ia mengandung anak kami yang ketiga. Anak edisi mutakhir yang memang kami idamkan sejak lama. Aku langsung mengucap syukur dalam hati. Ya Tuhan Yang Maha Menganugerahkan nikmat, inilah rezeki yang sejati buat kami sebagai manusia. Inilah bukti pengakuan ketidaksamaan kami dibanding keunikan-Mu duhai Tuhan

Dibanding PKI, Tentu Lebih Nyata Kemunafikan Kita

Salah satu isu yang hangat tapi tidak gurih di lidah kita adalah bangkitnya PKI. Dikatakan hangat, karena selalu diblowup di banyak linimasa, setiap hari. Isi beritanya bermacam-macam. Pasti menghebohkan. Pasti akan memunculkan ketakutan bagi beberapa orang. Sebab trauma sejarah pemberontakan PKI masih menancap kuat di batin banyak orang. Isu ini dikatakan tidak gurih, karena memang tidak enak dikunyah. Apalagi ditelan. Apalagi berharap memperoleh gizi dari makanan berupa isu yang sebetulnya klise belaka. Isu yang tidak jelas sumbernya. Namun jelas pesannya; ingin mencipta kegaduhan. Artinya, kita seyogyanya sadar jika isu tersebut tidak punya nilai positif bagi kedamaian bangsa. Bahkan kalau terus membenarkannya, sama saja kita menegasikan pihak-pihak berwenang dan civil society yang selama ini menjadi tameng kita. Meyakini dengan kuat akan bangkitnya PKI, sama pula merendahkan polisi, tentara, dan ormas-ormas keagamaan - misalnya NU dan Muhammadiyah - yang ada di negeri in

Lelembut yang Menemui Gus Ahmad

Gus Ahmad sebagai kiai yang linuwih sudah dikenal di mana-mana. Salah satu yang paling kesuwur tentu saja berita ketika beliau mampu menyingkirkan jin dan makhluk astral lainnya dari tubuh manusia. Kisah ini membuat banyak orang takjub. Mereka merasa heran atas banyaknya ilmu yang dikuasai kiai yang masih tergolong muda ini. Masyarakat sekitar desa Gus Ahmad pun meyakini jika kemampuan beliau pasti lebih dari itu. Mereka menduga boleh jadi beliau itu punya ilmu bisa menghilang. Sangat mungkin pula beliau itu bisa terbang di udara. Atau, punya ilmu raga sukma, dimana raga beliau ada di rumahnya, sedang jiwanya bisa berpindah ke mana-mana, misalnya ke Makkah. Menurut masyarakat desa tersebut dan juga masyarakat yang lebih luas lagi, yang rata-rata menyukai hal-hal yang berbau mistik atau klenik, merekapun mempercayai dugaan-dugaan kepada Gus Ahmad tersebut. Padahal dugaan itu muncul dari pemikiran mereka sendiri. Bukan berasal dari kenyataan yang mereka lihat dari diri Gus Ahmad.

Masjid itu Pusat Madrasah Bagi Anak-anak Kita

Kemarin hari Jum’at. Tak terasa. Baru seminggu yang lalu menemui hari Jum’at, eh kemarin dia sudah muncul lagi. Tapi memang dasar, hari Jum’at itu siklus mingguan yang bisa kita lalaikan untuk sementara. Namun mendadak sanggup memaksa kita untuk mengingatnya kembali. Di pesantren-pesantren biasanya diadakan kerja bakti secara bersama-sama (ro’an). Warga desa juga sama, terbiasa jum’at bersih. Di kantor-kantor, hari Jum’at itu hari menyehatkan. Para penghuni kantor biasa bersenam pagi. Keluar keringat itu sehat. Aku lihat kemarin, ada juga yang punya ritual seperti itu, di tempat lain yang berbeda, di bangunan-bangunan nan besar bernama masjid. Mereka itu para lelaki setengah baya. Jumlahnya, ya, lima orang lah. Mereka ada yang berdiri. Ada yang ngelempoh. Mereka mengepel lantai. Menguras kamar mandi dan membersihkan tempat wudlu. Mereka mengecek microfon dan sound system, mempersiapkan pelaksanaan acara besar. Oh ya, kemarin kan hari Jum’at. Hari di mana ketika matahari mulai

Memilih Menabung dari pada Berhutang

Bertemu Gus Ahmad itu sangat menyenangkan. Beliau orang yang selalu berwajah cerah, teduh dan penuh senyum. Di samping itu pula luas hati dan cerdas pemikirannya. Karenanya beliau selalu mampu menyelesaikan persoalan yang hampir pasti caranya berbeda dengan orang awam. Aku beberapa kali sempat juga bertemu dengannya. Ketika bertemu, yang mendapat banyak ilmu dan pengalaman selalu aku. Sedang beliau sendiri pasti sangat sedikit memperolehnya dariku. Aku yakin itu. Diriku dan dirinya ibarat cangkir dan tangki. Di siang itu kami terlibat perbincangan yang santai. Gus Ahmad duduk medongkrong di depanku. Duduk di kursi besi warna biru. Aku sendiri duduk di kursi kayu yang usianya sudah tua. Entahlah, beliau memperlakukanku seperti tanpa sekat. Medongkrong pun tidak menjadi masalah, kesepakatan etika kami memang seperti itu. Saat itu beliau yang lebih banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya. Terutama tentang kebiasaannya yang tidak suka berhutang. Baginya berhutang itu sebuah pra