Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2018

Orkes Moralitas

Kita pasti masih teringat pada seorang politisi yang menyorong kata-kata “bangsat” kepada organ-organ yang ada di sebuah institusi pemerintahan, di beberapa bulan yang lalu. Kita juga pasti belum alpa pada seorang tokoh nasional yang mendaku diri dan golongannya sebagai anggota partai Allah dan yang tidak sama dengannya dipelakati sebagai anggota partai setan. Masih menancap pula di memori kita, tentang makian dan cacian dari banyak orang yang ditujukan pada sosok Gus Dur (1940-2009) dengan banyak kata: picek , buta mata hati, liberal, antek Yahudi, dll. Sampai kematiannya di tahun ke 9 pun, ironisnya, sosok kosmopolit ini terus saja mendapat umpatan dan hinaan dari beberapa pihak. Masih terkenang pula perlakuan pada sosok Gus Mus, seorang kiai-budayawan, yang disepelekan seorang anak muda dengan kata: ndasmu . Untungnya kasus ini sudah ditutup, dan yang menutup adalah Gus Mus sendiri. Dengan kearifannya, Gus Mus memaafkan ulah orang yang menghinanya itu. Belum lama ini,

Tuhan, Ampunilah Kelecekan Sajadahku!

Di semua masjid, tiap lantainya adalah sajadah. Bahkan untuk baris tertentu, paling depan dan beberapa baris ke belakang, banyak masjid memasang di lantainya karpet indah dan bersih, yang perannya sebagai sajadah juga. Menurut saya inilah ekspresi istimewa dari umat, sebagai ijtihad yang luar biasa, bahwa lantai masjid yang sebenarnya sajadah dengan sendirinya itu, masih dilapisi karpet, yang juga sebagai sajadah. Lebih istimewa lagi, ketika umat berangkat salat ke masjid, entah di lima waktu yang fardlu, atau salat Jum’at, serta di dua salat Id di tiap tahunnya, banyak dari mereka, muslim dan muslimah, sama-sama menyangkluk sajadah di pundaknya. Sudah ada sajadah berlapis di masjid, para umat masih membawa sajadah dari rumah. Fenomena itu tidak bisa dinilai sebagai sebuah tindakan yang terlalu berlebihan. Atau tindakan yang mubadzir. Tapi sebaliknya saya sangat meyakini, itulah ekspresi beragama dalam salat yang menyimbolkan bahwa para umat mempunyai tumpukan rasa cinta kepada Tu

Bangunlah Rumahmu Sederhana Saja

“Bangunlah rumahmu sederhana saja,” sebuah nasihat yang disampaikan seorang kiai kepada saya. Kapan? Dua hari yang lalu. Sebuah nasihat yang masih hangat. Nasihat yang saya akui belum pernah saya dengar hingga detik itu . Agar tidak hilang, maka saya tuliskan saja, dan saya bagi. Sebutlah nama kiai tersebut Gus Ahmad (nama asli). Seorang kiai kampung yang punya jadwal mengaji di beberapa desa sekitar. Kebetulan beberapa hari yang lalu istri beliau pulang dari umrah . Saya berkesempatan bertamu ke beliau, untuk hormat kepulangan umrah tersebut. Kami terlibat obrolan yang hangat. Tentang cerita umrah istri beliau. Tentang kegiatan beliau yang padat merayap. Dan yang menarik pula, tapi tidak saya bahas dalam tulisan ini, tentang cerita bahwa baru saja beliau membeli puluhan buku dari sebuah pesantren di Kediri. Hasil menitip dari salah satu anak buahnya. Dan ketika kami – saya dan istri – masuk ke ruang tamu, kami lihat memang beliau sedang asyik membaca sebuah buku, sambil

Kalau Mau Memberi Ya Memberi Saja

Saya pernah kecele. Dan kecele tersebut sampai membuat hidup saya tidak tenang, bahkan sampai sekarang. Ada beban yang terasa masih menimpa saya. Bila beban itu tidak saya singkirkan, sekalipun melalui pertolongan orang lain untuk mengangkat dan meminggirkannya, pasti jiwa saya akan terus kesakitan. Ceritanya, di sebuah sore mampirlah seorang pengemis di depan rumah. Kebetulan dia laki-laki dan masih muda. Seperti pengemis-pengemis lainnya, pengemis muda yang mampir di rumah saya itu juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang biasa mereka ucapkan, “Sakwelase, Pak. Saya tidak punya uang Pak. Keluarga saya jarang makan Pak.” Sambil tentu saja wajahnya memelas. Rumah saya ada di pinggir jalan raya propinsi, sehingga kerap mendapat “kunjungan” tamu-tamu para pengemis tersebut. Juga tidak ketinggalan para pengamen. Jadi kalimat-kalimat khas para pengemis dan peminta yang seperti itu sudah sering saya dengar. Bahkan hafal di luar kepala. Demikian pula dengan memasang wajah memelas. Menuru