Selepas membaca koran pagi dan
menyeruput kopi bikinan istrinya, Gus Ahmad beranjak ke halaman depan. Namun
sebelum menuju halaman, Gus Ahmad terlebih dulu masuk ke gudang, mengambil
“gantar”. Beliau hendak mengunduh beberapa mangga gadung di depan rumahnya yang
kelihatan mulai matang.
Sambil lirih mendendangkan
shalawat, Gus Ahmad khusyuk mendongakkan kepalanya. Beliau mencari mangga mana
saja yang akan “disunggeknya”. Rencananya beberapa akan dimakan sendiri dengan
istri dan anaknya. Beberapa lainnya akan disimpannya untuk konsumsi acara
manakiban yang rutin digelar setiap Jum’at malam di kediamannya.
Ketika beliau sudah beberapa
menit melakukan aktivitas itu, datanglah Kang Dargombes. Seorang murid
manakiban yang rumahnya memang tak jauh dari kampung Gus Ahmad. Karena dekat
itulah, Kang Dargombes termasuk murid yang paling sering ngobrol, paling sering
sowan dan pasti pula paling sering “ngerepoti” Gus Ahmad dan keluarganya.
Gus Ahmad sempat kaget dengan
kedatangan Kang Dargombes yang terlihat wajahnya lelah. Betapa tidak kaget,
tiba-tiba saja ia sudah ada di pinggir Gus Ahmad.
“Astaghfirullah. Sejak kapan
Sampeyan ada di sini Kang?”
“Assalamu’alaykum Gus. Maaf Gus
saya ngageti Jenengan. Saya mampir Gus, barusan dari pasar lewat “ndalem”
Jenengan, ya akhirnya mampir.”
“Kalau begitu monggo-monggo kita
ngobrol di teras saja. Sampeyan juga perlu “ngincipi” mangga saya ini Kang”.
Kedua guru dan murid itupun berjalan beriringan menuju teras rumah Gus Ahmad. Serempak
menduduki kursi kayu kuno, diselingi kicauan indah burung Jalak Uret peliharaan
guru ngaji yang bersahaja itu.
“Wajah Sampeyan kok lelah gitu
Kang. Habis ngapain saja Sampeyan?”
“Sebenarnya saya tidak lelah Gus.
Hanya saja tadi malam saya tidak bisa tidur. Saya mikir, Gus.”
“Subhanallah, mikir apa Sampeyan
Kang, sampek segitunya?”
Pertanyaan Gus Ahmad tersebut
tidak segera mendapat jawaban dari Kang Dargombes. Ia mendiamkannya, seperti
ditelaahnya terlebih dulu. Jika sudah ditemukan jawabannya, maka ia akan
menyampaikan ke Gus Ahmad. Dan beberapa menit kemudian jawaban itupun muncul.
“Gus, akhir-akhir ini kabar hoax
semakin merajalela. Hoax apa saja. Tentang politik, sosial, ekonomi, bahkan
yang terbaru tentang pandemi Corona Virus.”
Gus Ahmad mendengarkan ulasan
Kang Dargombes dengan mimik serius. Kepala beliau “mantuk-mantuk” mencermati
setiap kalimat yang diucapkan muridnya itu.
“Yang paling membikin saya mikir,
dulu yang menyebar hoax itu orang-orang biasa, bukan orang-orang intelek. Nah
sekarang, Gus, lha kok para intelek ikut menyebar hoax pula. Saya ini jadi
bingung, mengapa para “wong-wong pinter” kok bisa-bisanya ngeshare hoax
sebegitu santainya? Kalau itu dipercaya banyak orang kan bisa bahaya Gus.”
Gus Ahmad tersenyum mendengar
kalimat terakhir muridnya itu, “He he he, ya begitulah Kang zaman sekarang
ini.”
“Ya begitulah apa maksud
Jenengan, Gus?”
Sebelum menjelaskan lebih lanjut,
Gus Ahmad menyeruput lagi kopinya. Kopi hitam bermerek 9 itu memang dikenal
sedap. Sedangkan Kang Dargombes sendiri memungut satu iris mangga gadung yang
memang rasanya legit itu.
“Kang, sekarang ini, di era ini,
informasi itu seperti hujan turun di musim penghujan pula. Intensitasnya tinggi,
turun hampir setiap hari. Berbagai macam informasi menyebar ke mana-mana. Mulai
di kota-kota, bahkan hingga di lembah-lembah gunung. Seluruh masyarakat
“menadahi” derasnya informasi itu.
“Banyaknya informasi itu akhirnya
menumpuk. Tumpukan file informasipun memenuhi ruang hidup masyarakat. Sehingga muncul
di pikiran mereka, kalau informasi itu dirasanya penting buat orang lain, mengapa
tidak disebarkan saja, disharenya.
“Apalagi, Kang, alat menyebarkan
informasi tersebut sudah tersedia, yaitu media sosial. Pilihan bagikan di
facebook, atau kirim ke orang lain di Whatsapp, membuat semakin bersemangatnya
masyarakat menyebarkan tumpukan informasi tersebut ke teman-temannya. Ke
seluruh dunia, bahkan.”
Sampai di titik itu, pikiran Kang
Dargombes mulai terbuka. Sejurus kemudian Kang Dargombes menyela gurunya. “Gus,
bukankah menyebar informasi yang bermanfaat buat orang lain itu baik?”
“He he he, ya tentu baik Kang.
Tapi kan ternyata di samping ada informasi yang baik, atau good news
istilahnya, kan ada pula yang bad news, bahkan fuck news, Kang.
Inilah sumber malapetaka yang terjadi, yang sekarang populer disebut hoax.
Inilah yang berbahaya Kang. Apalagi yang isinya membuat ketidaktenangan, bahkan
ketakutan di tengah masyarakat.”
Sejenak setelah mendengarkan
uraian mencerahkan dari gurunya, Kang Dargombes terdiam. Ia tertunduk. Hatinya
meronta-ronta. Geram terhadap orang-orang yang tega menyebar informasi
meresahkan itu.
“Lalu apa penyebab semua ini bisa
terjadi Gus? Yang salah zamannya atau salah perangkat teknologinya?”
Gus Ahmad berdiri. Kemudian
melangkah ke samping kanan, ke “tritis” teras sebelan kanan rumahnya. Beliau
membungkukkan tubuhnya, dan kemudian beliau meludah ke tanah.
“Tidak, Kang, zaman dan perangkat
tak ada salahnya sama sekali. Ini jelas-jelas salah orangnya. Dulu kan Sampeyan
pernah belajar bagaimana jatidiri para Rasul dan Nabi?”
“Gih Gus, sewaktu madrasah
ibtidaiyah saya pernah belajar itu.”
“Nah, ada empat sifat wajib yang
menjadi jati diri para Rasul dan Nabi. Sampeyan pasti ingat, sifat-sifat
tersebut antara lain shidiq, amanah, tabligh dan fathanah. Salah
satu dari sifat tersebut, kini ingin dipraktikkan oleh masyarakat kita, yaitu
tabligh, menyampaikan ke orang lain. Sifat itulah yang ditiru manusia di era
sekarang.
“Bagus memang menyampaikan.
Tetapi ketika yang disebar itu kabar bohong, bukan fakta dan bukan kebenaran,
maka yang tiga sifat lainnya justru ditinggalkannya. Padahal keempat sifat itu
berjalan kolektif-kolegial.”
“Maksudipun bagaimana itu, Gus?”
“Jadi begini Kang. Seseorang
boleh saja bertabligh, menyampaikan, memberitakan, bahkan mendakwahkan apapun
berita yang dianggapnya baik dan benar. Tapi semua itu wajib terlebih dahulu
melalui proses difathanahi. Artinya, gunakan kecerdasan nalar kita, penelitian
kita, analisis kita, menilai benar tidaknya kabar itu. Berbahaya apa tidak
kabar itu. Fakta ataukah bohongan kabar itu.
“Mengapa proses itu diperlukan?
Kang, setiap kabar yang disampaikan memang haruslah benar, jujur dan lebih
penting lagi tidak membahayakan. Ketika seseorang mampu memberitakan kebenaran,
maka itulah praktikum sifat shidiq. Disamping itu pula, itu merupakan
manifestasi nyata pelaksanaan sifat amanah. Artinya, ia bisa diberi kepercayaan
menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat betul terhadap orang lain. Makanya,
Kang, kalau belum bisa berfathanah, bersidhiq dan beramanah, ya tidak usah
bertabligh menyampai-nyampaikan berita. Bisa keliru dan berbahaya nanti.”
“Oh jadi itu, Gus, yang menjadi
masalahnya, orang-orang mau bertabligh, tapi tidak sudi berfathanah, bersidiq
dan beramanah?”
“Insya Allah itulah problemnya,
Kang. Problem epistemologis.”
Kang Dargombespun geleng-geleng
kepala. Kedua telapak tangannya tergenggam erat. Hatinya bergejolak, menahan
emosi. Hatinya pun berbisik, “abot Lur!”
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda