Langsung ke konten utama

Misi Besar Menjaga Kualitas





Seorang temanku pernah bercerita tentang mendiang mertuanya. Bahwa mertuanya itu, pasca meninggal dunia beberapa bulan silam, mewariskan banyak sekali benda-benda berharga. Salah satunya sebuah mesin obras. 

Mesin tersebut, seingatnya, ia beli sekira tiga puluh tahun silam. Mesin itu diproyeksikan sebagai perangkat kerja mertuanya. Yang luar biasa, walau sudah sepuh, tapi mesin tersebut masih bisa bekerja secara maksimal, hingga sekarang.

Menurut pengakuannya, mesin itu pernah rusak hanya beberapa kali. Dan ketika rusak, begitu mudah untuk mereparasinya. Selebihnya, mesin itu bisa bekerja secara luar biasa tanpa terkendala. Menjadi penyokong utama ekonomi mertuanya, dari jasa menjahit dan mengobras pakaian.  

Mendengar cerita itu, yang muncul di pikiranku hanya ketakjuban. Mengapa mesin yang dibuat puluhan tahun silam itu bisa tetap normal dalam jangka yang cukup lama? Apakah ada rahasia tertentu dalam pembuatannya di saat itu? Aku memang sangat yakin, pasti ada “resep rahasia” di balik proses pembuatannya. Menjadikan mesin itu masih “tahes” hingga berpuluh tahun kemudian.

Namun, sebelum kita berusaha membuktikan kebenaran dugaan itu, aku dan mungkin juga Anda pastilah pernah mendengar sebuah adagium, “benda atau barang yang dibuat oleh orang-orang lawas biasanya awet”. Panci yang diproduksi di masa lalu, sering lebih awet dibanding panci produk masa kini. Kompor produk zaman lawas, demikian pula, tidak gampang rusak dibanding kompor keluaran terbaru. Motor produk masa lalu, banyak yang masih bisa dipakai saat ini, tidak kalah dengan motor paling gres.

Orangpun banyak berkesimpulan, pertama, semua itu bisa terjadi karena benda produk lama biasanya dibuat dengan bahan berkualitas. Jika itu terbuat dari besi, maka besi yang dipakainya besi yang berkelas. Besi yang tidak mudah berkarat. Jika ia berbahan plastik, maka dipilihlah jenis plastik terbaik. Plastik yang tidak mudah pecah. Jika itu tembaga, maka tembaganya jenis yang paling baik, yang tidak mudah putus oleh jepitan tang.

Karena terbuat dari bahan berkualitas, menjadi tidak aneh benda atau barang tersebut awet. Lestari. Tidak mudah terkikis waktu. Tahan dari sapuan angin dan gempuran masa. Sehingga bisa tetap dipakai sebagai penyokong gerak hidup pemiliknya. Bahkan mampu melampaui satu-dua generasi.

Tentang pelampauan generasi tersebut, kemungkinan besar kita juga memafhuminya. Seperti halnya mesin obras milik mendiang mertua temanku, kita juga sangat familier mengetahui ada motor tua milik tetangga kita yang masih berfungsi normal. Padahal pemiliknya telah tiada bertahun-tahun sebelumnya. Kita juga sangat familier mendengar kisah sebuah arloji lawas milik kenalan kita. Walau sudah dibeli sejak puluhan tahun silam, tapi arloji itu masih “sehat wal afiat” hingga sekarang. Sementara pemiliknya sendiri telah beranjak renta diterpa waktu yang terus pergi melangkah.

Dan kedua, pemilihan bahan baku yang berkualitas, menunjukkan kepada kita, produsen benda tersebut sangatlah bertanggungjawab. Wujudnya berupa niatan mulia, setiap benda yang diproduksinya harus diproyeksikan bisa terpakai dalam durasi yang lama. Bahkan kalau memungkinkan, sampai langit runtuh.

Jadi, sebagai produsen, ia tidak saja berorientasi profit. Tapi lebih dari itu, ia ingin memuaskan pembelinya. Lebih dari itu pula, ia sebenarnya ingin membahagiakan pembelinya, dengan cara memproduk benda yang bermutu tinggi. Harapannya, sang pembeli itu tak perlu sering keluar uang untuk membeli benda itu lagi, karena yang lama telah rusak. Cukup beli satu kali untuk seumur hidup. Bukankah hal-hal yang seperti itu sangat membahagiakan kita?

Bandingkan dengan situasi sekarang. Banyak benda produk kekinian yang mudah rusak. Mudah lapuk, walau hanya terdamprat waktu yang cuma sesaat. Cuma sesaat? Ya, cuma sesaat, sebab waktu tersebut hanya hitungan bulan. Di beberapa fakta yang lain ada pula yang terhitung mingguan.

Benda keluaran sekarang, jika dibanding benda produk lawas memang unggul dari aspek kemasan. Hampir semua produk kekinian dikemas dengan sangat cantik. Keindahan dan kepantasan sangat diperhatikan oleh banyak produsen. Bagi mereka, keindahan dan kepantasan itu sebagai senjata paling pokok untuk menggaet calon pembeli.

Kita, ya kita, bukan saja aku, sering tergoda pada tampilan kemasan benda-benda kekinian itu. Kita ngiler. Kita mengidamkan. Lalu kemudian membelinya. Bukan hanya satu, tapi dua, tiga atau empat. Bahkan hampir setiap bulan selalu ada benda kekinian yang menjadi koleksi terbaru kita.

Namun ternyata, setelah kita punyai benda itu, ada saja diantaranya yang cepat rusak. Sehingga tidak bisa dipakai lagi. Padahal kemasan yang dipertontonkan aduhai indahnya. Tapi, apalah daya, fungsi pokoknya telah hilang. Wujuduhu kaadamihi.

Apakah dengan demikian, produk kekinian lebih tidak berkualitas dibanding produk lawas yang jaminan mutu sering terkesan awet? Bisa iya, bisa tidak. Jika iya, karena saat dibongkar, diselidiki, benda produk kekinian ternyata memang diproduk ala kadarnya. Terbuat dari bahan yang murah. Diproses dengan sistem yang asal-asalan pula. Dan jika tidak, tentu benda itu berbahan dasar material bermutu. Tetapi yang seperti ini, keberadaannya semakin sedikit saja.

Bahkan kita mungkin mendengar, bahwa banyak dari benda produk kekinian, memang telah dikalkulasi waktu kemanfaatannya. Ia diproyeksikan punya umur tertentu. Alias, benda itu tidak akan awet selama bertahun-tahun. Karena kalau umurnya bertahun-tahun, sama saja menjauhkan produsennya dari keuntungan yang menggiurkan.

Sederhananya, benda yang usianya setahun atau dua tahun, tentu menjadi peluang bagi pemiliknya untuk memiliki benda itu lagi. Selama ini benda itulah yang telah mempermudah laju hidupnya. Karena itu jika rusak, kebutuhan akan benda tersebut akan muncul kembali.

Maka pemilik benda rusak itu akan merealisasikan keinginannya dengan cara membeli lagi. Dan itulah yang aku maksud sebagai pangsa profit yang menggiurkan bagi orang-orang kekinian. Entahlah, setiap kita mendengar kata profit didengungkan, semangat kitapun langsung memuncak.

Akhirnya profitpun terkumpul banyak. Orang kekinian pun mudah menjadi kaya raya. Uangpun menumpuk. Bisa untuk membeli banyak aset. Baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Baik yang ada di dalam negeri, maupun di luar negeri.

Lalu bagaimana halnya dengan nasib konsumen? Dalam hukum bisnis banyak orang kekinian, nasib konsumen tak harus dipikir mendalam. Ada memang tanggungjawab dari penjual atau produsen kepada konsumen. Tetapi akuntabilitas itu sangatlah minimalis. Tidak setebal dan semulia produsen di zaman-zaman dulu.

Pembeli, bagi beberapa orang kekinian yang pikirannya ultra pragmatis, hanya dianggap obyek pesakitan. Pembeli adalah ladang keuntungan. Maka keruk sebanyak-banyaknya keuntungan dari pembeli. Biarkan saja jika akhirnya pembeli tersebut bangkrut miskin karena saking borosnya membeli benda-benda itu. Risiko harus ditanggung sendiri, bukan ditanggung bersama-sama.

Jika memang kondisi kekinian kita seperti di atas, dan memang demikianlah sebagian faktanya, maka model-model produsen mesin obras milik mertua temanku itu, tergolong makhluk yang langka. Jumlahnya seribu satu. Merekalah sang penjaga kualitas yang sejati yang selalu kita idam-idamkan. Yang siap bekerja keras demi memuaskan dan membahagiakan pelanggan. Karena bagi mereka, mungkin saja, pelanggan itu dulur saklawase. Benar-benar dianggap dulur, bukan isapan jempol semata.

Maka pelajaran pentingnya yang bisa dipetik, bahwa kita sekarang ini dihadapkan pada dua pilihan status. Pertama, begitu mudahnya menjadi orang yang pragmatis. Yang dalam setiap hentakan kaki dan helaan nafasnya, yang dipikir hanya profit dan profit. Cuan dan cuan. Tanpa menomorsatukan kualitas yang harus dijaga dengan baik. Dan kedua, begitu sulitnya menjadi orang yang idealis, yang mau menjadi satpam atas kualitas yang dihasilkannya.

Sungguh ajeg dan jejeg dalam kualitas, adalah satu ikhtiar yang melelahkan. Usaha yang butuh banyak keringat dan komitmen. Sebab kita tahu, bahkan merasakan yang ada pada diri kita sendiri, untuk menjadi orang yang berkualitas dalam segi moral keatas dan kesamping secara berkesinambungan, selalu kesulitan. Selalu ada saja godaan pragmatisme yang merayu terus menerus. Menunggu waktu lengah kita. Untuk kemudian meremukkan kualitas-kualitas kita itu. Wallahu a’lam bisshawab

21092022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekspresi Agama dan Budaya: Duet KH. Imam Hambali dan Abah Topan

Lega dan bersyukur. Itulah dua perasaan yang mengumpul di benak saya. Pasca usainya pergelaran pengajian umum di kampung saya pada tanggal 26 Oktober yang lalu. Sebuah kegiatan keagamaan yang berskala besar yang rutin dilaksanakan setiap tahun. Tahun ini memang agak spesial. Tidak seperti biasanya panitia kampung mendatangkan seorang penceramah, di perhelatan tahun ini yang didatangkan duet antara penceramah dan pelawak; KH. Imam Hambali dan Abah Topan. Bisa dibayangkan bagaimana riuh dan ramainya para warga yang menghadiri pengajian tersebut. Dan seperti sudah diduga sebelumnya, para warga yang hadirpun membeludak. Jumlahnya berkisar seribu orang lebih. Mereka tidak saja warga lokal, tetapi banyak pula yang berasal dari tetangga desa. Mereka nampak khusyuk menyimak ceramah agama yang disampaikan KH. Imam Hambali, dan lawakan mengocok perut dari tingkah pola dan guyonan Abah Topan. Jumlah penyimak pengajian yang membeludak tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, pasti ada penyeb

Kita dan Modus Pengibulan yang Kita Percayai

Sekira dua bulan yang lalu, saya membaca postingan di sebuah akun facebook yang menurut saya lumayan lucu. Postingan itu berupa foto seorang kakek tua, duduk di atas motor Yamaha Jupiter warna merah miliknya. Wajah si kakek yang terpotret, nampak butuh pertolongan. Si pemilik akun melengkapi dengan sebuah cerita, bahwa kakek tua itu ia temui di sebuah pom bensin. Si kakek mengaku sedang mencari salah satu anggota keluarganya di sebuah daerah di Mojokerto. Namun di tengah jalan, ia kehabisan uang. Padahal rumahnya jauh, di Nganjuk. Iapun belum sampai ke tempat tujuan dimaksud. Kontan saja karena iba, si pemilik akun itu memberikan sebagian uangnya ke kakek yang wajahnya melasi itu. Dilambari doa, semoga si kakek cepat menemukan salah satu anggota keluarganya itu. Semoga pula tidak ada kendala di sana sini, khususnya risiko kehabisan bensin di tengah jalan. *** Selanjutnya, postingan bernada kepedulian kepada sesama itupun mendapat banyak respon. Tentu saja berupa

Derajat Tinggi Sayyidina Umar dan Munkar-Nakir yang Takut Padanya

Ada banyak makhluk hidup yang diciptakan Allah Swt di muka bumi. Menurut pemahaman kita selama ini, hanya ada tiga jenis makhluk hidup berdasarkan bahan dasarnya. Pertama, yang berbahan dasar cahaya, ialah malaikat. Kedua, yang berbahan dasar api, ialah jin, setan dan iblis. Dan ketiga, yang berbahan dasar tanah, ialah binatang, tumbuhan dan manusia. Yang selama ini kita yakini, makhluk yang paling tinggi derajatnya adalah malaikat. Alasannya, malaikatlah makhluk yang paling taat kepada Allah Swt. Ketaatannya seratus persen, bahkan bisa melebihi itu. Allah Swt menyuruh seorang malaikat untuk berjalan, maka malaikat itupun akan berjalan tanpa henti, sebelum Allah sendiri yang menghentikan. Diperintahkan bersujud, rukuk, dll, merekapun taat melaksanakan titah itu tanpa protes dan tanpa menyetop tugas-tugasnya itu. Tetapi pemahaman tersebut sebenarnya bisa benar dan bisa salah. Tergantung pada diri pribadi makhluk selain malaikat itu. Taruhlah dua makhluk lainnya, setan dan manusia,