Salah satu pangkal
persoalan yang terjadi di tengah umat (Islam) adalah munculnya sikap beragama yang
terlalu ke kanan atau ke kiri. Dalam terminologi umum, terlalu ke kanan disebut
ekstrim kanan dan terlalu ke kiri disebut ekstrim kiri.
Gerakan ekstrim kanan
dalam Islam sering diwakili oleh kelompok-kelompok yang sedikit-sedikit
mengharamkan dan membid’ahkan amaliah kelompok lain. Bahkan tidak jarang
mengkafirkan. Hal itu terjadi berdasarkan cara mereka menafsirkan teks suci
agama dengan tafsir yang kaku. Akal tidak difungsikan secara proporsional oleh
mereka.
Sedang ekstrim kiri,
diwakili oleh kelompok-kelompok liberal. Sebuah kelompok yang mendasarkan
pendapatnya terlalu banyak dari akal. Akal diposisikan berada di atas teks suci
agama. Sehingga pendapat kelompok ini sering bertolak-belakang dengan pesan
suci teks-teks agama, dalam hal ini al-Qur’an dan al-Hadits.
Dari sekilas uraian
pembuka di atas dapat diperoleh gambaran yang tegas, bahwa jika kedua gerakan
ekstrim ini muncul ke permukaan, maka tidak akan mudah dipertemukan dalam satu
ide yang sama. Keduanya akan saling tarik menarik, dengan tarikan yang sungguh
kuat, berdasarkan pilihan model penafsiran yang mereka jalankan.
Akibat nyata dari
fenomena itu, umat akan mengalami problem berat. Salah satu yang utama, ketika
mereka mengikuti salah satu kelompok di antaranya, maka ia akan berlawanan
dengan kelompok diametralnya. Kerukunan dan persaudaraanpun sulit diwujudkan.
Padahal intisari Islam itu sendiri adalah kerukunan dan persaudaraan (wasathiyah).
***
Di sebuah akun facebook
yang berjatidiri sebagai penganut sunnah rasul, pernah mengunggah status yang sayangnya
sangat tidak mencerminkan Islam yang wasathiyah
(tengah atau moderat), seperti yang saya baca beberapa waktu yang lalu. Unggahan
itu berupa fatwa, yang isinya melarang (mengharamkan) umat untuk memakan makanan
apapun yang menjadi hidangan di acara tahlilan.
Menurut akun tersebut,
tahlilan yang sejak lama dihukuminya bid’ah, sehingga diharamkan, maka apapun
yang ada di dalamnya menjadi haram pula. Salah satunya makanan yang
dihidangkan, pun ikut dihukumi haram.
Makanan yang menjadi
hidangan tahlilan memang secara dzat tergolong halal. Telur, daging ayam,
daging sapi, nasi, tahu, tempe, kue dan seabrek macam hidangan khas lainnya,
secara hukum dasarnya memang halal. Namun karena dihidangkan di sebuah acara
yang terhukumi haram, menjadi haram pula makanan tersebut. Ia haram lighairihi.
Sebagai pengamal ritual
tahlilan, tentu saja saya sempat emosi membaca status tersebut. Bagaimana tidak
emosi, fatwa tersebut secara tidak langsung menyetempel siapapun yang mengunyah
hidangan di acara tahlilan sebagai: pemakan makanan haram. Termasuk saya
sendiri.
Tapi untunglah, emosi
saya tidak jadi terlampiaskan. Saya hanya membaca, kemudian tidak mengabaikan
karena beralih ke akun lain, meskipun masih menyisakan setitik kejengkelan di
benak saya. Padahal sebelumnya saya sangat ingin menempelkan sebuah komentar
kritis di akun tersebut. Tujuannya, minimal, agar mereka tidak lagi seenaknya
berfatwa serampangan seperti itu. Karena menurut saya risikonya besar sekali bagi
kerukunan dan persatuan umat.
***
Seperti kita ketahui,
para pengamal tahlilan pasti afiliasinya ke ormas Islam terbesar di negeri ini,
bahkan terbesar di dunia. Ya, NU maksud saya.
Anggota ormas Islam
yang sudah berusia 94 tahun ini sendiri terdiri dari banyak golongan. Mereka,
antara lain: orang-orang biasa, para petani, para karyawan swasta, para guru, para
santri, para ustadz-ustadzah TPQ, para gawagis, para kiai, para habaib, dll.
Mereka semuanya sangat doyan tahlilan, minimal di setiap malam jum’at.
Kita ketahui juga
jumlah umat Islam di negeri ini kurang lebih 87 persen. Kita bayangkan saja,
dari 87 persen itu jumlah warga NU sekitar 60 persennya. Maka itu sudah
mewakili sekitar 50 persen jumlah seluruh penduduk negeri ini.
Kita bayangkan lagi,
seandainya warga NU yang berjumlah 50 persennya seluruh populasi penduduk
negeri ini menyoal fatwa serampangan tersebut, wah boleh jadi akan muncul gelombang
gerakan yang tidak terperikan. Gerakan-gerakan yang menunjukkan sebuah
kejomplangan. Sebab jumlah kelompok yang berfatwa serampangan tersebut memang
sedikit sekali.
Tapi seperti kita
ketahui, respon warga NU tidak pernah sekejam itu. Mereka hanya membiarkan
saja, jika memang tidak ada gerakan-gerakan nyata yang merusak tatanan umat
yang sudah baik. Mereka seperti itu karena ingin menjaga negeri ini agar tetap
bersatu, rukun dan damai dalam ikatan ukhuwah
Islamiyah, ukhuwah wathaniyah dan
ukhuwah basyariyah.
***
Sebenarnya Islam yang wasathiyah merupakan entitas yang
semestinya diamalkan oleh semua kaum muslimin. Sebuah pemahaman bahwa Islam
berada di tengah, tidak fanatik ke kanan atau ke kiri. Oleh karena itu Islam
yang sejati, ya Islam yang wasathiyah
dimaksud.
Hal itu berdasarkan
latar sejarah dua agama samawi sebelumnya, yang keduanya sama-sama terlalu
ekstrim ke kanan dan ke kiri. Dr. Muhammad al-Ghazali dalam buku Al-Ghazali
Menjawab 40 Soal Islam Abad 20 mengutarakan bahwa penganut Yahudi,
sebagai agama samawi tertua, dulu dikenal sangat membesar-besarkan kehidupan
dunia. Karena itu mereka sangat suka memburu dan mengumpulkan kekayaan. Dengan
berbagai cara, tanpa melihat halal dan haramnya.
Sementara itu kebiasaan
penganut agama Nasrani justru kebalikannya. Penganut Nasrani saat itu
berkeyakinan bahwa ketakwaan kepada Tuhan terletak pada cara hidupnya yang
menanggalkan keduniaan, menjauhkan diri dari segala kenikmatan dan meremehkan
apa yang disebut kekayaan.
Islam, menolak
keesktriman sikap beragama yang seperti itu. Islam sangat menjunjung umatnya
agar mereka selalu ada di tengah, untuk menyeimbangkan (ekuilibrium) antara
kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Keduanya punya posisi penting buat
manusia. Dunia tempat manusia beramal kebaikan, dan akhirat tempat manusia
memanen hasil amalnya.
***
Kewasathiyahan Islam
tentu saja berlaku pada banyak bidang kehidupan umatnya. Salah satu yang
terpenting pada bidang fiqh. Di
bidang ini, umat Islam tidak diwajarkan untuk keterlaluan dalam bersikap atau
menghukumi sebuah kasus. Kembali Dr. Muhammad al-Ghazali mencontohkan dalam
sebuah anekdot, bahwa ada seorang hakim yang menghadapi peradilan kasus
perzinahan. Terdakwanya seorang perempuan yang dituduh berzina.
Dengan berbagai cara,
dalam peradilan itu, sang hakim berusaha keras memancing-mancing dengan banyak pertanyaan supaya perempuan itu mengakui perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya perempuan
itu mengaku dan sang hakimpun menjatuhkan hukuman rajam, sebab perempuan tersebut
telah bersuami.
Menurut Dr. al-Ghazali,
cara intimidasi hakim tersebut sama sekali tidak sesuai dengan kebiasaan
Rasulullah. Rasulullah, ketika menghadapi kasus-kasus seperti itu, selalu punya
cara yang bernilai tarbiyah yang
mendidik umatnya. Rasulullah selalu memberi petunjuk kepada terdakwa supaya
selamat dari hukuman dan meninjau kembali pengakuan yang telah dinyatakan.
Beliau menginginkan agar terdakwa dapat pergi secara aman.
Kebiasaan Rasulullah
yang memanifestasikan ajaran Islam yang wasathiyah
tersebut benar-benar tercermin dalam realitas sosial saat itu. Ada sebuah kisah tentang itu yang saya dapatkan dari pemaparan KH. Bahaudin Nursalim atau yang akrab kita panggil
Gus Baha’, dalam kajiannya di Unissula beberapa hari yang lalu.
Beliau menceritakan,
bahwa dulu di zaman Rasulullah ada seorang pemuda yang ingin masuk Islam.
Pemuda inipun menghadap ke para sahabat yang sedang berkumpul, untuk
menyampaikan niat sucinya itu. Tetapi yang mengagetkan, sang pemuda ini mengajukan
syarat ketika ia sudah menjadi muslim, yaitu ia tetap bisa menjalani hidup yang
membebaskan berzina (free sex).
Pernyataan sang pemuda
menjadi biang kericuhan kalangan sahabat. Hingga Rasulullahpun mengetahui, dan
meminta agar pemuda itu segera menghadapnya. Ketika sudah menghadap, Rasulullah
tidak lantas mengancamnya dengan siksa neraka, karena syarat yang diajukan
tergolong perbuatan dosa yang besar. Beliau juga tidak langsung melarangnya
dengan tanpa penjelasan.
Apa yang dilakukan
Rasulullah saat itu? Beliau berusaha meluruskan otak (pemikiran) sang pemuda
tersebut tentang betapa buruknya zina, dengan beberapa pertanyaan: apakah kamu
suka jika ibumu banyak disukai para lelaki?; apakah kamu suka jika putrimu
banyak disukai para lelaki?; apakah kamu juga suka jika bibimu banyak disukai para
lelaki? Akhirnya nalar sang pemuda itupun tersadarkan, bahwa memang betapa
buruknya perbuatan zina. Sehingga ia akan senantiasa menjauhinya. Coba kalau
Rasulullah langsung melarangnya dengan memberitahukan ancaman dosa dan neraka,
maka boleh jadi tidak ada tarbiyah Islamiyah
dalam dakwah Beliau Saw. Wallahu a’lam
bisshawab
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda