Sumber foto: seword.com
SAYA DULU PERNAH MENULIS CATATAN
singkat di laman facebook saya mengenai militansi ibu-ibu Muslimat NU (Nahdlatul
Ulama). Tulisan tersebut saya saring dari tinjauan empiris, yang setiap hari
lekat di kehidupan saya. Yang paling kuat, bersumber dari ibu saya dan seluruh
kader Muslimat di kampung saya yang memang terkenal militan: ulet dan tanpa
kenal lelah.
Hingga sekarang kemilitanan itu
masih terus dilakukan. Seperti hari Ahad dua minggu yang lalu, ibu saya dan
anggota Muslimat lainnya mengadakan kegiatan foto untuk kartu anggota. Saya
ingat betul ibu berangkat ke tempat acara sebelum pukul tujuh pagi. Pulangnya
siang hari setelah dzuhur.
Agenda penting tersebut
sebetulnya sudah diawali beberapa hari sebelumnya. Ibu saya misalnya, sudah
beberapa hari beliau menerima setoran foto copy Kartu Keluarga (KK) dari seluruh
anggota Muslimat, yang akan dicatatnya dalam lampiran data calon penerima kartu
anggota.
Jumlah lembar foto copy KK yang
diterima ibu banyak sekali. Namun yang luar biasa, tak nampak rasa lelah dan gusar
pada wajahnya saat menerima dan mencatatkan data pada lembaran-lembaran
tersebut. Semua dilakoni dengan rasa suka cita dan semangat yang kuat.
Saya sendiri kadang tidak habis
pikir dengan semangat militansi ibu dan kader-kader lainnya itu. Sebuah
militansi yang tidak bisa dicari padanannya, bahkan dengan besaran materi.
Padahal rata-rata mereka sudah lanjut usia.
Sebagian diantaranya bahkan sudah
punya banyak cucu. Alias sudah nenek-nenek. Ibu saya sendiri kini mempunyai
sembilan cucu. Tetapi semangat berorganisasinya tak pernah lekang. Usia lebih
setengah abad, tidak membuat mereka lelah berorganisasi.
TERNYATA KEMILITANSIAN IBU SAYA
dan kader Muslimat lainnya seperti uraian di atas, sama persis terjadi di tempat-tempat
lainnya. Seperti halnya beberapa bulan yang lalu, saat saya dan beberapa teman
sowan ke kediaman seorang kiai di Dawarblandong Mojokerto, sayapun menemui
sebuah kemilitansian nenek-nenek kader Muslimat yang tiada tanding, tiada
banding.
Saat itu saya berada di
perjalanan dan melewati sebuah masjid yang siang itu segera akan menghelat
kegiatan Muslimatan. Mereka menamainya: kubroan. Sebuah kegiatan rutin yang
tujuannya mengumpulkan seluruh kader Muslimat di seluruh desa di kecamatan
tersebut. Acaranya sendiri belum dimulai. Tetapi yang saya lihat, jumlah yang
hadir lumayan banyak.
Hal yang menurut saya menjadi
poin menarik dan “menggigit”, ketika saya melihat berbagai macam kendaraan
pengangkut peserta acara. Anda jangan pernah membayangkan bahwa kendaraan yang saya
maksud terdiri mobil-mobil yang ber-AC, yang ketika kita duduk di dalamnya,
langsung mengantuk. Justru kendaraan yang digunakan ialah mobil-mobil bak
terbuka, tanpa ada atapnya. Saya tunjukkan saja: mobil pick up, tossa dan truk.
Yang menjadi objek keheranan
saya, diantara para peserta yang menaiki mobil bak terbuka itu, terbanyak adalah
para nenek lansia. Yang kulit wajahnya keriput, tetapi masih menunjukkan rona
kecantikannya.
Kelihatan sekali nenek-nenek
Muslimat itu merasa enjoy. Menikmati sinar matahari yang langsung “menyerang”
wajah mereka. Tak nampak rasa malu pada diri mereka, karena mobilnya jadul. Tak
nampak pula mereka jaga image, karena pada aslinya itu mobil pengangkut barang,
bukan pengangkut manusia. Bahkan saking enjoynya, beberapa diantara nenek-nenek
Muslimat itu ada juga yang memakai kacamata hitam berukuran lebar. Mirip sekali
dengan kaca mata hitamnya Syahrini dan Nia Ramadhani.
TERNYATA TIDAK HANYA DUA
PERISTIWA itu yang menunjukkan betapa hebatnya mereka. Masih ada peristiwa
lainnya yang saya tahu sendiri menggambarkan bagaimana jiwa militan para nenek
Muslimat kepada NU dan bangsa ini. Yang terakhir ini saya lihat ketika
menghadiri Satu Dekade Haul Gus Dur yang diadakan Gusdurian Mojokerto, PCNU
Kab. Mojokerto dan ormas-ormas lainnya, beberap hari yang lalu. Dihelat di aula
Wisma PCNU yang lumayan luas itu.
Mereka mengikuti acara hingga
usai, yang menghadirkan Mba Alisa Q. Wahid, putri sulung Gus Dur sebagai
gong-nya. Padahal Anda perlu tahu, aula PCNU Kab. Mojokerto itu berada di
lantai dua.
Ibu-ibu dan nenek-nenek Muslimat
tersebut tak urung harus-naik turun tangga, untuk bisa masuk dan keluar dari
aula. Sementara kita memaklumi, bila umur sudah tua, biasanya akan kerap
diserang penyakit karena Faktor U tersebut. Beberapa penyakit itu antara lain:
asam urat, encok, kesemutan, dengkul nyeri, batuk, kepala pusing dan
lain-lainnya.
Demikian pula dengan para nenek
Muslimat tersebut. Mereka juga terkendala penyakit-penyakit yang merakyat itu.
Kelihatan sekali pada saat mereka pulang menuruni tangga, langkahnya lamban.
Punggungnya membungkuk. Nafasnya ngos-ngosan. Beberapa ada yang memegangi
dengkulnya. Sambil membungkuk lamban mereka juga berucap, “atoh-atoh”. Tandanya
mereka memang merasakan nyeri di kakinya saat harus menuruni tangga yang lumayan
curam itu.
Tapi sekali lagi, mereka terlihat
enjoy-enjoy saja. Tak nampak mereka kecewa harus naik-turun tangga yang
melelahkan itu. Mereka tetap tersenyum, sambil mengobrol dengan
rekanita-rekanita mereka lainnya. Tentu saja ngobrol tentang dokter klinik
langganan dan jamu herbal yang terbaik yang sering mereka konsumsi.
KALAU GUS ULIL ABSHAR ABDALLA beberapa
hari yang lalu memperkenalkan istilah “Psikologi Felix Siauw”, sebuah situasi kejiwaan
yang khas terjadi pada diri orang-orang yang terdesak, maka saya juga punya
istilah baru di tulisan saya ini. Bahwa militansi positif nenek-nenek Muslimat
NU yang luar biasa tersebut, sebetulnya adalah wujud dari “Psikologi Muslimat
NU” yang secara umum memang seperti itu.
Mereka terbiasa enjoy, bermental
baja, ulet dan tanpa kenal lelah, meskipun interaksi di antara kita hingga hari
ini masih diwarnai dengan permusuhan di mana-mana, wabil khusus di dunia maya. Sepertinya
Muslimat NU tak menggubris fenomena buruk itu. Mereka tetap berkhidmah untuk NU
dan bangsa ini, tanpa perlu menengok sana sini. Hasilnya, telah banyak hal
positif yang mereka hadiahkan kepada bangsa ini. Salah satunya yang paling
besar: kerukunan dan perdamaian antar anak bangsa yang masih terjaga.
Kiranya Psikologi Muslimat NU
yang kali ini diwakili anggota mereka yang sudah nenek-nenek, dapat disemaikan pula
di manapun kita berada. Supaya nada-nada sikap benar sendiri dan sikap senang
bermusuhan, bisa dikikis habis setahap demi setahap. Jangan biarkan negeri ini
dirusak oleh maling-maling berkerah. Dan jangan biarkan pula negeri ini hancur
oleh pihak-pihak yang ingin persatuan kita bubrah. Wallahu a’lam bisshawab
Komentar
Posting Komentar
Silahkan berkomentar hanya dengan keseriusan hati dan fikiran Anda